Minggu, 20 Maret 2011

Pulang....

Pulang menjadi salah satu kata favorit yang kupunya, aku menyimpannya di salah satu sudut saku bajuku. Entah mengapa, belakangan pulang tidak lagi masuk kategori favoritku, ia terasa asing dan membuat berdebar.

”Kapan kamu lulus nduk?” pertanyaan ibuku tempo hari ketika aku pulang membuatku tertohok.

Aku hanya mampu menatap kedua bola matanya lekat, melihat lebih jelas keriput di sekitar matanya dan kantong matanya yang menghitam.

”Udah lima tahun lebih kuliah, masih betah aja,” ucapnya lagi, kali ini sambil mengusap kepalaku perlahan.

Aku menatapnya lagi,

”Hmm, doakan secepatnya bu,” aku menggenggam jemarinya. Kedua tangannya terasa hangat.

”Ibu udah doain tapi kamunya sibuk. Jangan organisasi yang kamu urus terus, skripsinya jangan dilupain,” ibu menegaskan.

Aku meringis. Memang masih ada amanah kampus yang kupegang, tapi tak bijak rasanya mengkambinghitamkan itu. Seringkali masalah prioritas dan pembagian waktu saja yang membuat skripsiku terbengkalai.

”Segera lulus ya nduk, adikmu tahun depan juga masuk kuliah. Butuh biaya yang tak sedikit.”

Aku tersenyum samar. Sejak delapan tahun lalu ibu telah menjadi seorang single parent, tak mungkin hanya mengandalkan uang pensiunan almarhum bapak, untunglah ibu cukup mahir dalam boga, tak heran usaha catering ibu melaju dan mampu menghidupi kami.

Ibu tak pernah memaksa, ia adalah wanita paling demokratis dalam hidupku. Sejak kecil, ia membebaskan kami, anak-anaknya mengikuti berbagai kegiatan. Ia mengajariku bagaimana percaya dan bertanggungjawab. Tak heran, hampir tak ada rahasia diantara kami. Sejak kecil, kepercayaan ibu membuatku menceritakan semua lembar hidupku. Ia tahu pasti siapa cowok yang kusukai sejak jaman SMP, siapa karibku saat SMA hingga perjalananku di kampus. Ia bukan hanya ibu, ia sahabat dalam berbagi.

Aku diam-diam kelu. Sungguh, keinginan berbakti itu ada dan terus mengalir. Jika wisuda menjadi bahagianya, aku akan memenuhinya, melobi waktu agar berpihak padaku. Tapi, maaf ibu, lulus belum menjadi prioritas saat ini.
* * *


Pulang menjadi salah satu kata favorit yang kupunya, aku menyimpannya di salah satu sudut saku bajuku. Entah mengapa, belakangan pulang tidak lagi masuk kategori favoritku, ia terasa asing dan membuat berdebar.

”Usiamu sudah matang, berapa?” ibuku bertanya. Benang rajut ibu menggelinding dimainkan Belang, kucing kami.

”Dua puluh tujuh,” jawabku pahit. Teh yang baru kuteguk kehilangan rasa manisnya di tenggorokan. Sore yang tenang tiba-tiba kurasa tegang. Udara serasa tak bergerak. Padahal kuntum mawar kuning ibu bergoyang lembut menikmati musimnya.

”Sudah lebih dari cukup untuk menikah kan?” Ibu menurunkan kacamatanya sejenak, memandangku lekat.

Aku mengangguk, mencoba bersemangat. Mengerti alur pembicaraan ibu sambil menebak-nebak akhirnya.

”Adikmu minggu kemarin dilamar Bagas, priyayi Solo. Adikmu menunda pernikahannya, Afri ndak mau mendahuluimu,”

Suaraku sempat tercekat, ini rupanya kenapa ibu memintaku pulang. Aku cukup mengenal Bagas, ia adik tingkatku di kampus, kami juga pernah satu berada dalam satu lembaga d dakwah kampus.

”Dalam islam ndak ada aturan kalo adik ndak boleh mendahului kakaknya tho’ bu. Daripada ditunda, Asti rela. Jodoh kan udah ada yang ngatur, bukankah itu yang ibu sampaikan?”

Suaraku bergetar sedikit emosi.

”Iya nduk,ibu ngerti, bukan itu yang ibu permasalahkan tapi ini semua karena kamu sendiri yang dari dulu menolak orang. Jangan terlalu idealis nduk,ga harus sholeh banget tho? Apa namanya itu? ikhwan?”

Aku mengangguk mengiyakan, sedikit jengah. Mengingat beberapa episode di belakangku, sempat ada dua lelaki yang melamar, keduanya dulu satu SMA denganku. Bayu adalah lelaki yang cerdas, juga mapan sebagai seorang bisnisman tapi sayang yang ia tawarkan pacaran. Tyo juga, ia seorang yang idealis sebagai seniman sayangnya frame berpikir kami tentang keluarga berbeda.
Sejak berjilbab, Ibu paham betul prinsipku tentang ini. Aku menceritakan padanya bagaimana proses dan konsep keluarga yang kuinginkan.
* * *


Afri tersedu ketika kutegur rencananya menunda pernikahan. Bukan ia tak tahu dan ingin memperlama proses, tapi ia tak tega melangkahiku, begitu katanya. Duh Gusti, memangnya kenapa kalau dilangkahi?

”Afri tau mba dan sebetulnya tak ingin memperlama ini, tapi Afri ga’ mau kalo orang-orang jadi memandang negatif ke mba Asti,”

Helaan nafas Afri terasa berat, suaranya bergetar menahan perasaannya yang campur aduk. Masyarakat memang bebas memberikan label kepada wanita yang tidak jua menikah di usianya yang sudah tua, tapi bukakah penilaian mereka tak selalu benar? Allah lebih tau isi hati manusia.

Aku merangkulnya, tangisnya pecah di pundakku. Ya Rabbi, hamba dzolim telah menjadi penghalang dalam ibadah adik hamba.

”Sudah, tetap laksanakan secepatnya, mba akan menghubungi Bagas. Sudah hampir tiga bulan proses kalian. Jika masih kalian tunda, mba justru minta untuk dihentikan,” aku pura-pura mengancam.

Afri menatapku, bola matanya berkaca.

”Maafin Afri mba,”

Ah, tidak ada yang salah dan tidak ada yang perlu minta maaf. Sungguh rencanaNya jauh lebih indah, di waktu yang tepat.
* * *


Pulang menjadi salah satu kata favorit yang kupunya, aku menyimpannya di salah satu sudut saku bajuku. Entah mengapa, belakangan pulang tidak lagi masuk kategori favoritku, ia terasa asing dan membuat berdebar.

”Ibu ridho?” tanyaku memastikan. Tangannya hanya mengusapku pelan, gemetar menahan berjuta perasaan seorang ibu dalam hatinya.

”Jika ia memang jodohmu nduk,” bola mata Ibuku berkaca, baru pernah aku melihatnya begitu pasrah dalam keputusanku. Baru pernah aku melihatnya terluka dan terpaksa dengan keputusan yang kuambil.

Namanya Bowo, seorang duda dengan tiga orang anak yang masih kecil, bahkan anak bungsunya belum genap satu tahun. Istrinya meninggal dunia karena sakit enam bulan lalu.

Ia hanya lima tahun diatasku yang kini berusia tiga puluh tahun. Baru satu bulan aku mengenalnya, tapi visi keluarga dalam pandangan kami sama. Satu kata yang buatku tak mampu menolak, sholeh.
* * *


Pulang menjadi salah satu kata favorit yang kupunya, aku menyimpannya di salah satu sudut saku bajuku. Ia menjadi begitu berharga dan bermakna.
Melihat kebahagiaan Ibu ketika ia menggendong Ais yang mulai berlatih berjalan, atau memperhatikan bagaimana ibu begitu lekat dengan dua prajuritku, Hasan dan Husen yang begitu menyukai kue buatan neneknya.
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

Al Hida, 4 Desember 2009