Jumat, 31 Desember 2010

pada hujan yang sebentar

pada hujan yang sebentar 1

seiris senja kita bagi dua
barat dan bunga yang layu
sambil menunggu hujan berhenti
kau bercerita

harga-harga memang naik
kereta ekonomi juga
tapi aksi adalah harga mati

kau berangkat melampaui senja
di gerimis yang panjang
menanggalkan senja yang lain
di ujung hari lain



pada hujan yang sebentar 2

aku suka sekali jendela kita
menghadap selatan, menyambut setiap yang datang
tanpa letih meski kecewa menggumpal
menyunggingkan senyum miris
gerakan mahasiswa kacau, keluhmu

jendela yang terbuka mengantarkan angin sore
kadang membuat masuk angin, saat
hujan turun deras, walau sebentar
tapi tak pernah kita tutup

caramu tertawa mengingatkanku, pada
ombak yang mengalun tak berirama
menggugat rasa yang kupaksa
mati kehujanan setiap kau tak peduli kata




pada hujan yang sebentar 3

jam dinding kita rusak
aku berdendang menghitung waktu
melawan suara hujan di kejauhan
makin keras derunya
seperti dentuman di dadaku
kenapa kau tak kunjung memberi kabar?

kebasahan kau masuk tiba-tiba
melupakan waktu dan cerita
mengejar hujan yang sebentar
karena malam ini akan kelam
kau hanya tunjukan bintang
bahkan tak tampak warnanya

aku melihat hujan
mengantarkanmu sebentar
pamit lagi membawa hujan di jaketmu
kapan kau berakhir?

Belajar dari Warna-Warni Lalu

Kenapa seseorang memiliki masa lalu hingga menjadi kenangan?

Kenapa masa lalu setiap orang tak selalu baik hingga meninggalkan aib?





Siang ini saya berkesempatan kuliah bersama mahasiswa 2008, anak-anak semester 5 yang nampak semangat 45’.

Kuliahnya menarik, bahkan saya merasa lebih bersemangat kuliah di tahun ini.

Saya sempat berpikir (sedikit menyesal tepatnya), kenapa saya harus kuliah semester ini.

Kenapa dua kali saya mendapat kesempatan kuliah mata kuliah ini saya sia-siakan dengan tak pernah masuk kuliah.

Coba kalo saya sudah mengambil kuliah ini dua tahun lalu, mungkin saat ini saya sudah ujian, imaginasi saya berputar.





Tak pernah bermaksud menyalahkan kesibukan saya kala itu.

Pilihan aktivitas di luar daripada duduk tenang di dalam kelas.

Sadar betul bahwa kesalahan ada pada menejemen saya yang buruk.





Pikiran saya kembali berputar, kenapa ya setiap orang memiliki masa lalu dan kenapa tidak semua orang memiliki masa lalu yang baik.

Tidak semua orang menjadi baik sejak lahir.

Tidak semua orang bersih sejak baligh.





Ada yang pernah nakal di masa kecilnya, bertindak sembrono di kala remaja atau bahkan tak tahu jalan ketika dewasa.

Ada fase kehidupan yang bukan putih, bisa saja hitam, abu-abu, biru, merah, hijau dan ungu.

Masa lalu.

Pernah saya meminta pada Tuhan agar menghapus ingatan saya pada salah satu fase dalam hidup yang tidak saya sukai.

Benar-benar berharap hilang ingatan pada babak-babak itu.





Kemudian saya berpikir ulang, apa jadinya jika saya tidak memiliki masa lalu, tidak memiliki aib.

Saya jelas bukan Muhamad saw yang ma’shum lagi rendah hati.

Dan jika saya tak memiliki masa lalu yang penuh keisengan itu bisa jadi-dengan mengukur diri saya- saya pasti akan menjadi orang yang sombong lagi angkuh.

Menjadi seseorang yang tak akan pernah bertoleransi kepada kesalahan orang lain.

Menjadi orang pertama yang menyalahkan ketika ada orang yang berbuat alpa.

Bagaimana lagi, saya manusia tanpa salah coy.

Bisa jadi itu sikap saya jika saya tak memiliki fase hidup yang warna-warni.





Tiba-tiba saja saya bersyukur pernah melewati warna-warna hidup selain putih.

Merasa diberi kesempatan untuk belajar dan memahaminya di fase selanjutnya.

Begitu juga dengan kuliah yang saya ambil di semester ini.

Saya sudah diberi dua kesempatan kuliah di tahun-tahun sebelumnya, tapi rupanya Alloh benar-benar baru mengijinkan saya mengikuti mata kuliah ini tahun ini, di semester sembilan.

Alloh benar-benar membuat hidup saya tak sempurna, Ia tak selalu mengabulkan semua keinginan saya namun Ia selalu memberikan dengan tepat apa yang saya butuhkan di waktu yang tepat.

Sungguh.

Rabu, 08 Desember 2010

Prestasi Kepemimpinan Kita

Bagaimanapun caranya engkau lahir ke dunia, kau telah dijemput takdir untuk menjadi seorang manusia. Makhluk dengan keluwesan akal pikiran untuk memahami konsep vertical horizontal kehidupan. Hubungan transedental ketuhanan dan social kemasyarakatan. Tak berlebihan jika manusia mengantongi gelar makhluk sempurna dalam jajaran hamba Allah lainnya.

Sama halnya dengan kelahiran manusia menjadi pemimpin. Peran kekhalifahan yang tak mampu diemban langit, ditolak gunung dan ditampik bumi. Ada pemimpin yang dilahirkan karena sengaja disiapkan dengan beragam treatmen, ada pula pemimpin yang lahir karena momentum, situasi yang memaksa. Toh keduanya selalu berkaitan dan saling mempengaruhi. Seorang pemimpin yang lahir karena momentum paling tidak pernah menyiapkan dirinya menjadi pemimpin, minimal memimpin dirinya sendiri. Mengelola akal, hati dan jiwa yang melekat padanya. Torehan Prestasi Pedang Allah

Tak ada yang menyangka, lelaki yang menggentarkan kaum muslim dalam perang Uhud- perang yang mengantarkan banyak sahabat dan para penghafal Al Qur’an syahid di medan jihad, di kemudian hari justru menjadi komandan perang kaum muslim.
Ialah Khalid Bin Walid, seorang yang memohon kepada Rasulullah agar memintakan ampun pada Allah atas masa lalunya begitu ia berbaiat masuk islam kelak kita kenal sebagai pedang Allah Yang Terhunus. Bukan semata karena ketangkasannya berperang namun juga kecerdikan strateginya hingga mampu menundukkan kaum murtad, membumi ratakan kerajaan Persia dan Romawi hingga menjelajahi bumi Irak dan dimenangkannya islan di tanah Syiria. Prestasi sejarah yang Allah catatkan untuknya semasa menjadi komandan perang kaum muslim.
Catatan prestasinya tak menjadikan Khalid menjadi panglima yang serakah, lihatlah bagaimana seruannya sebelum perang melawan Romawi,
“Hari ini adalah hari-hari Allah. Tak pantas kita di sini berbangga-bangga dan berbuat durhaka. Ikhlaskan jihad kalian dan harapkan ridha Allah dengan amalmu. Mari kita bergantian memegang pimpinan, yaitu secara bergiliran. Hari ini salah seorang memegang kepemimpinan, besok yang lain, lusa yang lain lagi sehingga seluruhnya mendapat kesempatan memimpin.”
Kerendahan hati yang lembut kita rasakan dalam kata-katanya yang mengguah. Tak heran, ketika khalifah Umar bin Khatab mengganti posisi komandan perang dengan Abu ‘Ubaidah, Khalid dengan kejujuran dan kerendahan hati yang mendalam mengungkapkan bahwa, sama saja baginya menjadi panglima ataupun prajurit. Masing-masing membawa kewajiban yang harus ditunaikan kepada Allah yang ia imani.
Berbekal Tekad Yang Menghujam
Bagaimana dengan prestasi kita dalam memimpin, sedangkan profil kepemimpinan kita terang dilihat dari bagaimana titah kita memimpin diri. Bagaimana nurani mampu mempengaruhi keputusan dan hati menjadi raja atas akal bukan menjadi budak atas nafsunya. Karenanya, menjadi pemimpin juga perkara tekad, bukan sekedar torehan pretasi. Azzam yang kuat untuk mengelola jasad, akal dan hati.
Sementara kita kebanyakan terbiasa dengan sesuatu yang instan, menginginkan semua siap saji tanpa perlu waktu dan proses yang matang. Tidak ada tekad yang kuat untuk melakukan sesuatu. Inilah kemiskinan yang menggerogoti jiwa-jiwa kita, miskin tekad. Tekad yang kecil dan lemah membuat kita tak memiliki orientasi
Bukankah Rasulullah saw adalah manusia biasa dengan tekad yang luar biasa. Impiannya membumikan islam bukan perkara membalikkan telapak tangan. Ada tekad yang lahir dari keyakinan dalam dadanya. Tekad yang membutuhkan kerja-kerja nyata. Tekad yang bukan sekedar ’ingin’ namun juga ’akan’. Tekad dengan usaha,
“…kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya” (terjemahan surat Ali Imron ayat 159)
Keberkahan Usia Kepemimpinan
Waktu menjadi catatan kepemimpinan yang mengikuti alur usia kita. Selama-lamanya masa yang kita habiskan untuk memimpin diri maupun orang lain, tidak menjadi jaminan prestasi kepemimpinan kita. Hakikat keberhasilan usia ada pada keberkahannya. Jika usia kepemimpinan yang panjang dapat benar-benar bermanfaat untuk kebaikan lebih banyak orang, itulah sebaik-baik kepemimpinan. Segala perkaranya adalah kebaikan. Dan itu tidak terjadi kecuali pada pemimpin yang beriman. Jika mendapat nikmat, ia bersyukur, dan syukur itu baik baginya. Jika ditimpa musibah dia bersabar, dan sabar itu baik baginya (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi).

Alif laammiim, janganlah ditanya kenapa, biar saja Allah yang tahu alasannya. Tugas kita sebagai muslim adalah menyiapkan lembaran sejarah kepemimpinan dengan mengoptimalkan segenap potensi kebaikan. Janganlah ditanya bagaimana kelak sementara momentum selalu datang lebih cepat daripada persiapan yang mampu kita himpun. Tugas kita adalah menghidupkan tekad kepemimpinan. Biar nanti takdir yang menjemput usaha kita. Jika kelak menjadi prestasi, maka biarlah ia menjadi jejak-jejak yang menginspirasi tiap generasi.
Partai TUGU UNY, Together with you..

Sabtu, 04 Desember 2010

Berkawan Dengan Kemiskinan


Miskin itu wajar. Sangat dekat dengan keseharian dan lingkungan kita. Seringkali kemiskinan dinilai dengan materi, artinya saat sesuatu itu berjumlah sedikit itulah miskin. Pandangan miskin muncul ketika ada pembanding dengan kondisi yang lain. Toh bukan solusi menghapus kemiskinan ketika semua dijadikan sama rasa sama rata.

Miskin Harta
Budaya utang piutang bukan hal baru dalam masyarakat kita. Meminjam harta orang lain guna memenuhi kebutuhan adalah biasa, terlebih bagi orang miskin. Meminjam uang adalah salah satu cara efektif melanjutkan hidup.

Diantara budaya hutang ala orang miskin inilah kebanyakan kita akan mendapati bahwa tak selalu mereka yang miskin mengembalikan uang pinjamannya, ada janji yang tidak ditepati. Diantara hutang dan kebutuhan si miskin pula seringkali kita membaca tindak kriminal dan tak terpuji mereka di media massa. Tentu saja tidak seluruh kaum miskin begitu, sayangnya sebagian besar iya.

Namun, bukankah Rasulullah saw mencintai orang miskin? Betapa sang Nabi mampu berkawan dan berbagi dengan orang-orang miskin meski perilaku mereka tidak menyenangkan. Tentu saja bukan karena orang miskin itu hebat namun Rasulullahlah yang luar biasa.

Bagaimanapun bebalnya mereka, Rasulullah saw mengajak kita menyantuni mereka. Pun jika dalam penilaian kita, mereka adalah orang-orang malas, tak mau berusaha dan mengandalkan orang lain, Rasulullah tak pernah menolak mereka yang meminta apalagi menghardiknya.

Miskin Tekad
Kita kebanyakan terbiasa dengan sesuatu yang instan, menginginkan semua siap saji tanpa perlu waktu dan proses yang matang. Tidak ada tekad yang kuat untuk melakukan sesuatu. Inilah kemiskinan yang menggerogoti jiwa-jiwa kita. Tekad yang kecil dan lemah membuat kita tak memiliki orientasi untuk bekal hidup terlebih bagi bangsa.

Bukankah Rasulullah saw adalah manusia biasa dengan tekad yang luar biasa. Impiannya membumikan islam bukan perkara membalikkan telapak tangan. Ada tekad yang lahir dari keyakinan dalam dadanya. Tekad yang membutuhkan kerja-kerja nyata. Tekad yang bukan sekedar ’ingin’ namun juga ’akan’. Tekad dengan usaha,

“…kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya” terjemahan surat Ali Imron ayat 159,.


Alif laammiim, janganlah ditanya kenapa, biar saja Allah yang tahu alasannya. Tugas kita sebagai muslim adalah menyiapkan lembaran sejarah dengan mengoptimalkan potensi kebaikan dalam diri kita. Miskin harta tak menjadikan tekad seorang muslim menjadi lemah dan luruh. Sebaliknya, mencintai kaum miskin semoga bisa melahirkan tekad untuk mengentaskan ketidakberdayaan mereka.

Janganlah ditanya bagaimana kelak, tugas kita adalah memperjuangkan kebaikan agar islam menjadi rahmat bagi semesta alam, membumikan sunah Rasulullah dengan meninggikan kalimat Allah. Biarlah nanti takdir yang menjemput usaha kita.

Rumah cinta Al Hida, 5 Des 2010
dalam jeda yang amat...

Jumat, 03 Desember 2010

Tembang Ilalang, Senandung Perjuangan Muslim




Mataku menangkap sebuah buku dengan sampul ganda, di rak buku kawanku. Tebalnya tak seberapa dengan judul yang menarik bagi saya, Tembang Ilalang. Mengingatkan pada dua hal yang bertolak, tembang yang megingatkan pada budaya nembang kaum Jawa dan ilalang, padang rumput tak bertuan dengan perpaduan hamparan hijau dan birunya atap langit. Toh sampul buku yang memuat dua kisah itu justru menampilkan dua warna, hijau dan coklat.

Buku terbitan Semestanya Pro U Media yang ditulis oleh MD. Aminudian ini awalnya mengundang perhatian saya bukan saja karena judulnya yang bagi saya romantis namun juga rangkaian kalimat di bawah judul buku, ‘pergolakan cinta melawan tirani’, whats up?

Diam-diam saya selami buku yang awalnya nampak suram karena kisahnya yang lama, mengembalikan ingatan pada sudut-sudut masa lalu Indonesia. Dalam kisah bagian pertama kita temukan sepenggal cerita yang berbaur dengan sejarah. Penjajahan Belanda yang melahirkan sekian penderitaan rakyat. Tak kurang antek-antek Belanda yang orang pribumi asli namun justru menambah beban penderitaan rakyat. Politik etis yang notabenenya balas budi Belanda tak cukup memberi ruang pada pribumi kebanyakan untuk belajar. Kisah keduapun tak kalah menakjubkan, penjajahan saudara tua Asia tak kalah buruknya. Berbagai agenda pelibatan rakyat tidak lain hanyalah cara untuk mengakomodir kepentingan Jepang. Belum lagi romusha dan penyerahan bahan pangan pokok yang semakin memiskinkan rakyat.

Selain itu tentu saja, kisah cinta Asroel dan Roekmini yang begitu dalam namun sederhana melarutkan semua definisi cinta dalam kamus saya. Jika cinta dimaknai dengan sekotak coklat, setangkai mawar maupun selarik puisi, tidak begitu dengan cinta keduanya. Bukan cinta picisan yang mengumbar rasa sebelum waktunya. Perpisahan keduanya tak menjadikan rasa putus asa dalam bertahan dalam penantian dan bertahan dalam usaha untuk saling menemukan, sebaliknya keduanya kita temukan dalam bingkai setia. Cinta Asroel dan Roekmini menerjemahkan kata setia dalam lika-liku hidup yang menakjubkan. Menghapus segala definisi cinta yang bertele-tele dan memabukkan. Maka benarlah, cinta Asroel dan Roekmini adalah perjuangan melawan tirani.

Lebih jauh lagi maka dalam kedua kisah tersebut kita temukan bahaya laten yang mengakar di kedua masa penjajahan. Gerakan terselubung anti tuhan, yang mampu memobilisasi masa petani yang sebagian justru muslim untuk turun dan bergabung. Komunis benar-benar seperti api dalam sekam yang merambat di banyak sisi kehidupan rakyat. Mengingatkan pada gerakan anti tuhan masa kini, bisa jadi bukan komunis namun perang pemikiran yang menimbulkan tren baru dalam dunia manusia. Gaya hidup dan kebiasaan yang jauh dari akhlak-akhlak islami tanpa disadari akan membawa kehidupan ini menjauhi agama. Bukan agama secara formal dengan ritualnya namun agama sesungguhnya ada pada aqidah yang lurus dan kokoh.

Buku ini menunjukan bagaimana sejarah begitu memikat dengan tuturan yang lugas lagi jelas tanpa kehilangan nilai estetika sastranya. Buku ini menceritakan sejarah yang tak sekedar cerita namun ideologi dalam masa kurun waktu sejarah berbeda-beda. Tak banyak sungguh yang kita tahu dari sejarah, terlebih sejarah yang dipelajari di bangku sekolah selain pemutar balikan fakta semudah memutar roda sepeda.

Tembang Ilalang menembangkan bagaimana perjuangan islam sejak jaman pra kemerdekan dengan basis pesantren maupun kyai-kyainya yang teguh pendirian. Tak mau berkompromi dengan penjajah jika rakyat tumbalnya. Bahkan sekedar memberi penghormatan kepada kaisar Jepang dengan posisi seperti ruku’, Kyai Zaenal dalam kisah tersebut menolak tegas. Bagi saya ini hal langka yang kini pun sukar kita temui dalam kehidupan. Sikap takzim seorang ulama kepada penguasa selayaknya tetap memperlakukan penguasa sebagaimana manusia biasa, tak berlebihan. Ada semangat berislam yang sempurna di sana. Bagaimana bersikap lembut kepada muslim dan tegas kepada kaum kafir.

Semangat para santri Kyai Zaenal sendiri mengingatkan pada kondisi perang di jaman para sahabat. Bagaimana keputusan Larto dan Kang Jasin untuk mengedepankan strategi dan menghimpun kekuatan terlebih dahulu tanpa memadamkan semangat juang para santri sebelum menyerang antek-antek Jepang yang menangkap Kyai Zaenal.

Kuatnya tekad para pemuda dalam kisah ini sungguh berbanding terbalik dengan realita pemuda dewasa ini yang lemah. Segala potensi yang dimiliki hendaknya dioptimalkan guna mendukung perjuangan islam dan bangsa kita, pun dengan kapasitas menulis masing-masing dari kita. Bukankah kita belajar bagaimana menunjukan setiap kebenaran walaupun satu kata. Ada sihir dalam kata, begitu sabda Rasulullah.

Sebagaimana keteguhan bung Oemar, nama lain Asroel dalam menuliskan kebenaran. Dakwah bil qolam. Kemampuannya menulis berita dengan landasan kebenaran senantiasa menyala walaupun korannya pernah dibredel pemerintah penjajah kala itu. Bahkan biarpun Tja Ib, sang pimpinan koran ditangkap Belanda. Kita belajar semangat bung Oemar dalam berdakwah malalui tulisan. Sungguh, niat menuliskan kebenaran dengan tekadnya jauh lebih tinggi dibandingkan sekadar ancaman penjajah terhadapnya.

Dua tokoh keturunan Belanda yang turut dalam perjuangan ini, Stientje, seorang dokter yang membantu Asroel dalam mendirikan sanggar belajar dan memfasilitasi kesehatan para buruh sekaligus jatuh cinta pada sosok pribumi dan tanah Indonesia serta Larto, pemuda yang menemukan Tuhan usai keterombang-ambingan paham komunis dan segenap peristiwanya meyakinkan kita bahwa cinta tanah air tak terbatas pada batas wilayah Negara dan bangsa. Sebagaimana cinta tanah airnya Hasan Al Banna, bahwa tanah air dalam islam adalah tanah dimana di sana ada keyakinan kepada Allah SWT, ada kumandang Laillahaillallah.

Maka kita memahami alasan muslim dunia, khususnya Indonesia dalam membela Gaza di Palestina sana, dalam mendukung perjuangan kaum muslim di Filipina maupun di negara lain. Karena muslim sesungguhnya adalah satu tubuh. Ketika ada bagian tubuh yang sakit, sudah seyogyanya bagian tubuh yang lain juga merasakan sakit yang sama.

Sungguh langka bisa menemukan buku yang menceritakan sejarah dengan benar yang di dalamnya bisa kita dengar nada-nada perjuangan kaum pribumi terutama muslim dalam meraih kemerdekaan bangsanya. Sementara saat ini kita yang menjadi generasi penikmat kemerdekaan justru kehilangan ruh merdekanya. Kehilangan semangat mengisi dan membangun kemerdekaan dengan usaha-usaha positif para pemudanya. Novel ini menunjukan semangat perjuangan yang luar biasa dengan keteguhan hati sekaligus kokohnya iman.

Maka benarlah, kisah pertama cerita ini ditutup dengan Alif laammiim, janganlah ditanya kenapa, biar saja Allah yang tahu alasan dan akhir hidup kita. Tugas kita sebagai pemuda muslim adalah menyiapkan lembaran sejarah dengan mengoptimalkan potensi kebaikan dalam diri kita. Janganlah ditanya bagaimana kelak, tugas kita adalah memperjuangkan kebaikan agar islam menjadi rahmat bagi semesta alam, membumikan sunah Rasulullah dengan meninggikan kalimat Allah. Biarlah nanti takdir yang menjemput usaha kita.

Maka, Tembang Ilalang bukan sekedar kisah namun ada dendang-dendang tembang perjuangan, nada-nada tembang jatuh hati sekaligus tembang duka akan negeri.

Kisah ini untuk diikutsertakan dalam Lomba Kisah Menggugah Pro-U Media 2010 di http://proumedia.blogspot.com/2010/10/lomba-kisah-pendek-menggugah-pro-u.html

Kamis, 02 Desember 2010

Hijrah, Karena Sejarah Perlu Disiapkan

Di salah satu sudut kampus hijau yang rindang.
Lingkaran ceria yang kelak kan meneguhkan langkah-langkah mereka

“Besok kita ngaji lagi ya?” suara seorang wanita yang menjadi pusat lingkaran dijawab dengan anggukan kecil bersemangat beberapa orang. Tiwi terdiam sejenak kemudian berkata,

“Tapi materi ngajinya jangan melarang pacaran ya mba?” senyum usilnya muncul.

Beberapa teman tersenyum geli mendengarnya, maklum bahwa masih ada beberapa orang yang pacaran dalam lingkaran itu.

“Ha ha ha, nggak de’, mba nggak melarang pacaran,” wanita itu tersenyum bijak. Ada keteduhan dalam ucapannya, “kelak kalian akan memahami sendiri.”

Langit sempurna birunya melingkupi suasana hamparan rumput hijau di bawah pepohonan timur kantor Rektorat UNY. Ada cinta yang menangkup dalam lingkaran mereka.

***



Penghujung 2006 yang hujan. Beberapa hari ini tugas kuliah membuat Tiwi keteteran.
Belum lagi agenda himpunan mahasiswa (hima) yang ramai.
Tiwi memang tidak benar-benar terlibat di hima, awalnya ia sama sekali tak berminat pada rangkaian agenda organisasi kampus, bukannya apatis, Tiwi hanya ingin berubah, mencoba hal-hal baru dalam kuliah mengingat masa SMP dan SMAnya ia habiskan tak jauh dari rutinitas organisasi.

Ponselnya tiba-tiba berbunyi, 1 pesan baru.

“De’, nanti malam jadi ke bookfair ya? Tak jemput setelah isya,” isi sms singkat barusan membuat Tiwi tersenyum riang, betapa tidak, Anto, teman dekatnya akan mengajaknya ke Islamic bookfair di Mandala Krida malam ini.

Sudah lama memang mereka merencanakan akan datang ke bookfair, Tiwi berencana membeli buku.
Bukan buku biasa bagi Tiwi, namun ia sendiri tak tahu buku apa yang akan ia beli nanti.

Belakangan sejak Tiwi iseng ikut kajian yang diadakan unit kegiatan kerohanian di fakultasnya.
Ia bertemu dengan orang-orang baru yang baginya unik dan ajaib.
Penampilan mereka jauh berbeda dengan mahasiswa kebanyakan dengan sikap santun serta menjaga.
Benar-benar membuatnya tertarik.

Nah, di salah satu kajian itu ada pembahasan tentang menikah di usia muda dan pandangan terkait pacaran.
Apalagi kajian kelasnya pekan kemarin juga menyinggung hal yang saja.
Di kampusnya, mahasiswa baru yang mengikuti mata kuliah pendidikan agama islam selain mendapat pendampingan melalui tutorial pendidikan agama islam setiap pekan juga mengikuti kajian kelas sebulan sekali.
Tak heran, akhir-akhir ini ada hal baru yang menggelitiknya, menikah tanpa pacaran.

Sebagai oknum yang memiliki teman lelaki dekat, Tiwi merasa asing dengan gagasan menikah tanpa pacaran.

Baginya pacaran itu penting untuk mengenal satu sama lain diri dan keluarga yang bisa jadi kelak menjadi keluarga baru. Semacam prasyarat menuju maghligai rumahtangga.
Makanya ia sensitif sekaligus penasaran dengan gagasan tersebut

***


Suasana Jogja Islamic Bookfair malam itu tak begitu padat.
Paling tidak, Tiwi dan Anto masih bisa berjalan diantara lalu lalang orang.
Menghampiri jajaran buku hampir di tiap stand sambil melihat dan membaca beberapa buku.
Keduanya nampak paling sering membolak-balik buku-buku tentang pernikahan baik buku-buku psikologi, pengetahuan maupun buku-buku islami.
Hingga sampai di salah satu stand, tangan Tiwi meraih satu buku, yang tidak saja tentang pernikahan tapi juga pacaran, satu hal yang masih ia lakoni saat itu.
Membaca kalimat di belakang buku,

buku ini dipersembahkan untuk mereka yang lagu jatuh hati
atau sedang pacaran bersama doi
yang dipenuhi hasrat nikah dini tapi belum bernyali
yang sedang menjalani proses penuh liku
dan yang ingin melanggenkan masa-masa indah pernikahannya.

“Yakin mau beli buku itu?” tanya Anto gamang.

Tiwi mengangguk bersemangat, membayarkan uang dua puluh delapan ribu rupiah sebagai efek diskon sambil memandang lekat buku itu, Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan, goresan Salim A. Fillah.

***



Januari yang riang di awal tahun 2007 tak seriang hati Tiwi.
Belakangan terasa ada yang mengganjal pikirannya.
Terasa ada yang salah dalam dirinya.
Sejak ia membaca buku Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan nampak terang baginya pasal pacaran itu.

Mendadak hatinya mengakui apa yang pernah beberapa jilbaber itu sampaikan terkait hubungan dengan lawan jenis, hatinya menyadarai kebaikan pada sikap para jilbaber yang menjaga diri dan pandangannya, mengangguk-angguk sendiri dalam membaca buku.

“Mas, kamu juga baca bukunya ya. Bagus lho, ada beberapa hal yang ingin kudiskusikan,” kata Tiwi suatu ketika.

Anto membuka buku-buku itu sejenak,
“Aku diceritain aja deh, baru kita diskusi. Kamu kan tahu, aku lagi baca banyak buku untuk mendukung skripsiku.” Tiwi mengangguk-angguk mengerti.

Maka Tiwi menggaris bawahi beberapa kalimat di buku itu, membuatnya terlihat lebih mencolok dibandingkan kalimat lain. Kalimat-kalimat terkait hubungan dengan lawan jenis, bagaimana lelaki memandang wanita yang menjadi pacarnya serta ayat-ayat al qur’an yang tercantum di buku itu.

Hari-hari Tiwi dan Anto menjadi gundah.
Tiwi mendiskusikan buku itu pada Anto, menceritakan kekalutan hatinya dan ketakutannya pada Allah, Sang Pemilik Hati sejati.

“Karena itu mas, Tiwi pengin sekarang kita berteman saja,” ucap Tiwi akhirnya usai menceritakan kegundahannya.

“Maksud kamu?” Anto meminta ketegasan.

“Ya, kita putus,” terasa ada yang menggantung dalam ucapan Tiwi.

Anto diam dalam jenak waktu yang terasa panjang.
Tiwi kelu, terasa hatinya sakit sendiri setelah mengucapkan kalimat barusan.
Dikuatkannya matanya agar tak basah.
Ditabahkannya hatinya agar tak luluh.
Sungguh ya Allah, Tiwi ingin berubah.

Toh tekad itu belum setegar karang, cair kepanasan oleh matahari Januari.
Mereka masih pacaran, Anto menolak putus dan hati Tiwi jatuh lagi.
Pacaran yang aneh rasanya.
Paska kejadian itu, mereka menjadwalkan kapan mereka ketemu.
Jika dulu hampir setiap hari mereka bertemu, kini sepekan hanya dua kali, Rabu dan Sabtu malam, sisanya mereka sepakati untuk hal-hal lain yang lebih bermanfaat dan kuliah. Bahkan keduanya bersepakat dan saling bersemagat menjalankan puasa sunah senin-kamis bersama.
Bahkan saling miss call untuk membangunkan shalat malam.
Duh Gusti, sesungguhnya tipu daya setan itu benar-benar terselubung.

***


Akhir pekan ini teman sekos Tiwi mengajanya mengikuti bedah buku di salah satu kampus di deretan ring road utara. Aneh sekali, Tiwi merasa bahwa Allah sedang membentangkan jalan untuknya, membuka lebar-lebar pintu taubat,

Bedah buku Change Now karya Rahman Hanifan itu membuka kembali hatinya yang luluh.
Sungguh, ia tak ingin setengah-setengah dalam berubah.
Diam-diam air matanya luruh saat agenda bedah buku itu.
Ia tidak saja mendapat motivasi namun juga merasa mendapatkan kekuatan untuk melangkah lagi.
Luar biasa hebatnya kata-kata, maka benarlah sabda Rasulullah, ada sihir dalam kata-kata.

***


Malam itu langit terang lagi hening.
Tiwi terduduk usia shalat malamnya, dikeluarkannya segala resah dan pinta.
Menekuri perjalanan hidupnya hingga kini, menyadari bahwa Allah semata yang mengantarkannya hingga kini.
Kuasa Allah semata yang menghadirkan segala rangkaian peristiwa dalam hidupnya.

Ia ingat-ingat lagi buku Nikmatnya Pacaran Setelah Pacaran yang membangun pemahamannya terkait batasan hubungan dengan lawan jenis, mendorong kesadarannya untuk mengakhiri pacarannya.

Ia ingat-ingat lagi materi yang pernah diberikan tutor pendidikan agama islamnya tentang rambu-rambu pergaulan dengan lawan jenis, tentang bagaimana ia melihat para jilbaber dan lelaki berjenggot dengan celana cungklang itu menjaga sikap dan pandangannya.

Ia ingat-ingat lagi materi bedah buku Chage Now, berubahlah sekarang.
Ia ingat semuanya, sungguh seperti rekaman dalam otaknya yang berputar terus menerus.
Hidayah tidak selalu datang dua kali.
Bisa jadi ketika hidayah itu datang dan kita belum siap, Allah akan mengambil kesempatan itu dari kita.
Ia ingat itu semua ya Allah.
Yang ia butuhkan sekarang adalah kekuatan untuk bersikap dan berubah.

Wahai Engkau Sang Pemilik Kekuatan Sejati, karuniakanlah kekuatan padaku untuk berubah.
Sesungguhnya janjiMu adalah pasti, bisiknya dalam isakan malam itu.
Doanya melesat ke langit, berpilih dengan jutaan doa dengan harapan yang sama, kabulkanlah ya Rabb.

***


Tiwi menundukkan pandangannya kuat-kuat, ia sudah tak lagi sanggup bicara dan memandang lelaki di depannya.
Semua alasan sudah ia kemukakan. Bahwa ia ingin berubah, itu pasti.

“Dek, kalo emang udah bosan dengan pacaran ini, gak perlu pakai alasan mau berubah segala. Gak perlu pakai alasan mau menjaga hati segala,kamu itu masih kecil, masih muda, emang nanti bias bertahan dengan perubahanmu?”

Astagfirullahaladzim, desis Tiwi pelan, hatinya tersengat karenanya.
Tak mengira begini tanggapan Anto atas niat baik Tiwi meminta putus.
Terasa benar azzamnya diremehkan.

Toh ia tetap menunduk, tak kuasa menyangkal. Bukan, bukan karena itu benar, tapi terasa sekali sakit di hatinya.

“Udahlah gak usah munafik,” Anto menatap Tiwi tajam, “ siapa lelaki itu?”

Astagfirullahaladzim, kali ini air mata Tiwi meluncur kuat betapapun ia tahan kuat-kuat.
Bisa-bisanya Anto menuduh seperti itu.

“Mas, insyaAllah niat Tiwi putus dan berubah adalah karena Allah, bukan karena yang lain.” Tiwi menarik nafas panjang, mengisi paru-parunya dengan udara segar.

“Tiwi benar-benar ingin berubah. Tiwi takut dosa dengan hubungan kita selama ini, Tiwi takut Allah tidak ridha. Kelak, jika memang Tiwi akan menikah, maka semoga tidak lagi ada pacaran sebelumnya,” tuturnya kembali tenang, mencoba tidak terpancing.

“Ya sudah, kita menikah saja.” Suara Anto meninggi. Tiwi tersentak, melihat tatapan kemarahan di mata lelaki itu. Tiwi hanya menggelengkan kepalanya tak tahu harus bagaimana.

“Kenapa? Apa karena aku kurang shalih?”

Tangis Tiwi benar-benar pecah.
Sungguh, pertengkaran ini benar-benar membuatnya kelu dan sedih.
Ya Allah, terasa berat kali ini jalan menuju perubahan itu.
Ya Allah, kuatkanlah…

***

Tiwi menarik nafas panjang, ada kelegaan sekaligus keharuan di dadanya usai menuliskan sepenggal kisahnya.
Lewat tiga tahun sudah ia hijrah ke jalan cinta para pejuang islam, jalan dakwah yang semoga Allah ridha karenanya.
Ia tak tahu sampai kapan ia ada di jalan ini, namun selalu ada pinta bahwa Allah senantiasa meneguhkan langkahnya.

Bahwa dalam jalan yang dipilih Tiwi penuh dengan aral, itu adalah konsekuensi.
Betapapun, di tengah himpitan dan kesulitan itu, Tiwi selalu menemukan celah harapan dan Allah senantiasa memberikan jalan.

Cukuplah baginya Allah sebagai sebaik-baiknya pelindung dan penolong.
Cukuplah kini cinta Allah semata yang ia rindu.
Cukup Allah semata hingga kelak Allah kan menggenapkan untuknya janji yang ia yakini.

Jadikan cintaku padaMu Ya Allah
Berhenti di titik ketaatan
Meloncati rasa suka dan tidak suka
Karena aku tahu
MentatiMu dalam hal yang tak kusukai
Adalah kepayahan,perjuangan,dan gelimang harta
Karena seringkali ketidaksukaanku,
hanyalah bagian dari ketidaktahuanku

(Salim A. Fillah dalam Jalan Cinta Para Pejuang)





Rumah Cinta Al Hida, 3 Desember 2010

semusim inspirasi dari Tiwi*


Kisah ini untuk diikutsertakan dalam Lomba Kisah Menggugah Pro-U Media 2010 di http://proumedia.blogspot.com/2010/10/lomba-kisah-pendek-menggugah-pro-u.html

Rabu, 01 Desember 2010

Berdamai Dengan Usia

Berumur dalam hidup seyogyanya membelajarkan kita kearifan hidup. Hitungan waktu memang menuakan kita, menghampiri kita dengan banyak pengalaman namun mampu menyelesaikan sekian beban di atas usia kita adalah perkara kedewasaan. Kemampuan memetik hikmah pengalaman tidak selalu diukur dari usia biologis.

Kehidupan selalu memiliki pintu hikmah yang kunci-kuncinya terhampar luas di bumi. Tak selalu yang berumur menemukan rahasia kehidupan, bisa jadi yang muda mampu menembus batas dan menemukan makna hidup. Sejauh mana kita melangkahkan usia kita dan mengkaryakannya?


Melangkah Saat Dewasa
“Dan setelah Musa cukup umur dan sempurna akalnya, Kami berikan ke- padanya hikmah (kenabian) dan pengetahuan. Dan demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. “

Terjemahan surat cintaNya dalam Al Qashash ayat 14 di atas menunjukan betapa Allah mempertimbangkan usia dan kematangan akal pada diri seseorang sebelum akhirnya bebankan amanah.

Disadari maupun tidak, berbagai aturan main dalam beribadah seperti kewajiban shalat dan puasa mencantumkan satu syarat yaitu baligh. Mampu secara usia. Allah tidak membebankan suatu kewajiban sebelum seorang muslim itu memiliki kematangan usia dan akal dalam berpikir untuk mengetahui suatu perkara.


Ketika Jiwa Melompati Masa
Sejarah mencatat siapa kanak-kanak pertama yang menyambut seruan Rasulullah. Ialah Ali bin Abi Thalib yang berusia sekitar sepuluh tahun saat itu, seorang anak yang jiwanya mampu melewati masanya. Semula ia ragu menerima Islam dan hendak bermusyawarah dulu dengan ayahnya, Abu Thalib. Namun keesokan harinya ia mendatangi Nabi sholallohu ’alaihi wasallam dan menyatakan masuk Islam. Ketika ditanya apakah ia memberitahu ayahnya, Ali yang masih sangat belia menjawab mantap, ”Allah menciptakan saya tanpa bermusyawarah dengan ayah saya, maka mengapa saya harus bermusyawarah dengan ayah saya untuk menyembah-Nya?”

Bukankah tidak semua kedewasaan diukur dari usia? Kita temukan banyak anak-anak dengan beban di atas usia mereka. Anak-anak dengan tanggungjawab melebihi kapasitas akal normal. Dalam jiwa-jiwa bening kanak-kanak, kita temukan cahaya yang memesona. Usia muda tidak menghalangi masuknya cahaya iman dan nikmatnya amal dalam Islam.


Maka sesungguhnya lama berusia saja tidak cukup dalam memaknai usia. Ada sejumput kemampuan mengelola perasaan dalam sisi humanisme dan spirit religius dalam hubungan transedental yang mempengaruhi kedewasaan.

Bagaimana dengan usia kita? Bisa jadi banyak hal yang kita lewatkan di masa lalu. Ada sekian catatan yang belum terpenuhi dalam rencana usia kita. Ada sekian impian yang berlum terealisasikan di sudut usia kita. Maka, marilah berdamai dengan usia, memanfaatkan yang tersisa dengan baik dan bijak dibandingkan menekuri masa lalu kita karena sungguh kita tak tahu kapan ajal menjemput dan menghabiskan waktu kita.


*Rumah cinta alhida, november yang berlari
insyaAlloh dimuat dalam buletin TEMPIAS