Minggu, 15 April 2012

Istri Pertama Sang Lelaki

Perempuan itu melirik lelaki di sebelahnya. Lelaki dengan kacamata minus yang duduk menghadap laptop, kedua matanya asyik tertuju pada layar, sesekali senyum mengembang di wajahnya dan ketikan mengalir dari jari-jarinya.

Perempuan itu kembali melirik kecil. Sebal! Perempuan itu menghembuskan nafas pelan, sudah sejak setengah jam lalu ia duduk gelisah di sebelah suaminya. Pura-pura sibuk membaca, padahal ingin segera ia lempar buku di tangannya. Matanya berat, mengantuk, tapi tak enak beranjak duluan. Berapa usia pernikahannya, sepekan, ah...terlalu cepat untuk bosan.

 "Belum ngantuk?" tiba-tiba suaminya memalingkan muka ke arahnya. Kedua bola matanya tertuju pada si perempuan.

 "Eh, udah...eh, belum, nunggu Mas," perempuan itu meringis salah tingkah. Lelaki itu tersenyum. Tuh kan, Tuhan...senyum suamiku memang manis.

 "Kalo ngantuk tidur aja duluan," lelaki itu berkata acuh menghadap laptop kembali.

 Fhiuuh, kemana senyum lelakinya barusan? Perempuan itu tak menjawab, mulutnya mengerucut lucu. Masak iya, dia harus jujur kalo ia masih takut dengan rumah kontrakan baru mereka hingga tak berani tidur sendiri. Apa kata suaminya nanti? Bukan takut tepatnya, hanya belum terbiasa, perempuan itu merasa belum nyaman di rumah itu. Ia kembali pada buku di tangannya, membahas hal-hal romantis para pengantin baru. Romantis apaan? ***

 "Shadaqallahul 'Azhim," lelaki itu menutup mushafnya pelan sebelum meletakannya di atas rak buku. Si perempuan buru-buru memalingkan muka, malu ketauan sedari tadi memperhatikan tilawah suaminya.

 "Habis shubuh jangan tidur," lelaki itu melewati istrinya yang masih duduk di sampingnya, beranjak ke depan, membuka laptopnya. Perempuan itu menghembuskan nafas, kesal. Laptop lagiiii...mau tidur, bangun tidur, selalu laptop yang diurusin.

 "Mau minum apa Mas? Teh, kopi, susu?" perempuan itu akhirnya bertanya.

 "Susu aja..." jawab si lelaki tanpa mengindahkan istrinya, matanya tertuju pada laptop di depannya. 

Perempuan itu menghembuskan nafas pelan. Disodorkannya secangkir susu di samping laptop suaminya. Tanpa komentar dan ucapan apapun, lelaki itu menyeruput susunya sambil tetap menghadap laptopnya. Tanpa memandang si perempuan apalagi ucapan terimakasih. Apa sih yang bisa mengalihkanmu dari laptop, suamiku? ***

 Hujan turun dengan deras begitu mereka sampai di rumah. Si perempuan buru-buru mengganti pakaiannya yang basah. Membuatkan minuman hangat untuk suaminya. Perjalanan panjang tadi benar-benar membuatnya lelah dan ingin istirahat. Langkahnya terhenti ketika mengantarkan secangkir teh untuk suaminya. Lelaki itu, masih dengan baju yang sebagian basah-jaketnya sudah dilepas sedari tadi- duduk sibuk menghadap laptopnya. Keningnya berkerut dan berguman tak jelas. Ia benci pemandangan seperti itu belakangan ini. Laptop merebut sebagian waktu dan perhatian suaminya.

 "Ganti dulu mas, " ucapnya sambil meletakan cangkir teh.

 "Hemm, nanggung," jawab suaminya pendek sambil lalu. Si perempuan masih berdiri di sebelahnya, berharap mendapat sedikit saja perhatian dari suaminya.

 "Udah, kamu kalo ngantuk, tidur aja dulu,"
 Sempurna sudah. Perempuan itu berbalik mengemasi airmatanya yang hampir jatuh. Lebih baik tidur! ***

 Hmm, ternyata cerita di novel-novel itu benar. Dan suamiku masuk kategori itu. lelaki yang istri pertamanya laptop. Perempuan itu berguman sendiri, mengupas bawang merah sambil melamun. Mau protes rasanya berlebihan apalagi kalo pake aksi demo kayak jaman kuliah dulu, engga deh, perempuan itu menggelengkan kepalanya cepat.

 "Mikirin apa?" suaminya mendadak sudah di belakangnya.

 "Enggak," perempuan itu menjawab malas. Lelaki itu duduk di hadapannya, memandangi istrinya. Si perempuan cuma menunduk, hatinya masih kacau. Bawang merah di tangannya sudah selesai ia kupas, ia jadi kikuk sendiri.

 "Sudah selesai?" perempuan itu mengangkat wajahnya, menemukan sepasang mata suaminya yang masih memperhatikannya, "ada yang ingin kutunjukan," lelaki itu menggandeng tangan istrinya, mendudukannya di kursi depan laptop, tempat favorit si lelaki.

 "Maaf ya belakangan ini banyak mengacuhkanmu. Ada yang harus kukerjakan," tangan si lelaki dengan cekatan membuka laptopnya. membiarkan si perempuan masih tertegun dengan kejadian barusan, tumben suaminya menggandeng tangannya.Bukankah setaunya, suaminya tak seromantis itu?

 "Selamat milad istriku, novel ini kuhadiahkan untukmu. Insyaallah pekan depan sudah terbit," draft novel dengan sampul warna hijau muncul di depannya. Mengalihkan perhatian si perempuan dari hatinya yang gerimis. Hujan sekarang.

 "Kenapa hijau?" tanya si perempuan. "Bukankah itu warna favoritmu?" balas suaminya.

 Tuhan, bukankah selama ini ia tak memperhatikan hal-hal yang kusukai? Perempuan itu menghembuskan nafas panjang, ia banyak salah menduga tentang lelaki di sampingnya. Suaminya memang jarang menunjukan kepedulian terhadap hal-hal yang ia sukai, tapi lelaki itu tak pernah melupakannya. Mencatatnya dalam hati saja.

 "Suka?" tanya si lelaki. Perempuan itu tersenyum mengangguk. Suka sekali, gumannya dalam hati. 

"Terimakasih," si perempuan mengangkat wajahnya yang berkaca, memandang lelaki di sampingnya. Si lelaki mengangguk balas memandang wajah istrinya. Baginya, melihat senyum istrinya saja sudah membahagiakannya, apalagi ucapan terimakasih yang disampaikan dengan tulus, merekah sudah. Apabila seorang laki-laki memandang istrinya dan istri pun membalas pandangan suaminya, maka Allah memandang keduanya dengan pandangan rahmat.
Garasi, 19 januari 2012 ...warna-warna cinta...

Selasa, 10 April 2012

Syauqi*

Apa warna luka? Bukankah Tuhan yang memberi rasa bernama luka. Kita memaknainya dengan warna bumi. Begitu juga rindu. Apa warnanya?

Perempuan itu menarik nafas pelan. Udara terasa menyesakkan baginya. Dilihat ponsel merahnya yang berisik sepekan ini. Sms dan telepon masuk, ada yang singkat, ada yang sedang, ada yang panjang sampai terputus. Rasanya, telinganya berkurang kepekaannya demi mendengar suara-suara di seberang dengan nada sama. Cukup sudah. Hari ini perempuan itu ingin sendiri. Benar-benar sendiri dan jauh dari semua orang.

Selepas shubuh ia mengunci pintu kamarnya dan tak beranjak hingga siang. Diam mematung sambil merenung. Ingin ia matikan ponselnya yang masih terus berisik menanyakan kabar ini itu hingga hari ini. Tapi ia masih berharap pada seseorang. Masih berharap ada telepon masuk dari orang itu, minimal sms. Nyatanya sepekan ini nomor berakhiran 609 itu tak kunjung menghubunginya. Padahal ia merasa ingin berada di sebelahnya. Di sebelahnya saja tanpa berkata apa-apa. Itu sudah cukup.

 Pintu kamarnya diketuk pelan,
 “Makan dulu Nak,” pasti Ibunya. Buru-buru ia membuang ingus dengan tisu agar suaranya terdengar normal.
 “Belum lapar,”
 “Nanti sakit. Sejak pagi belum makan,” suara Ibunya khwatir.

 “Aku tadi bikin teh Mah,” ia melirik teh madu di meja yang masih separuh. Sudah dingin sedari tadi. Hatinya sesak lagi. Teh madu kan favorit orang itu. Ia membenci ingatannya sendiri. Suara Ibunya akhirnya menjauh. Kenal betul karakternya saat duka. Ia hanya ingin sendiri. Sepi sekali rasanya kehilangan.

Ada yang luka di hati. Apa warna luka? Ia tersenyum pedih.

Ponsel merahnya masih sepi dari orang yang ditunggunya. Diraihnya ponsel lain di sisi meja. Ponsel hitam sederhana kalau tidak mau dibilang jadul. Ia menemukan sebuah nama di phonebook, Sayangku. Picisan sekali. Ia menggelengkan kepalanya merasakan sesak di dadanya bertambah dua kali lipat. Kenapa harus ada nama itu di ponsel ini? Dibukanya kotak pesan. Lagi-lagi sms dari seseorang bernama Sayangku memenuhi barisan sms di sana. Ia membuka salah satu sms sambil menarik nafas, “Kalo enggak cinta, aku enggak cemburu!” Sms singkat dengan nada marah. Sms pendek beraroma cemburu. Ia melihat tanggalnya, tiga bulan lalu, untuk apa masih disimpan.

Perempuan itu makin sesak membaca sms-sms lain dari sosok Sayangku yang usang waktunya, tidak jelas isinya namun masih memenuhi kotak pesan itu. Kenapa masih disimpan? Hatinya berkabut. Iseng, ia malah menulis sebuah pesan,

 “Sayang, aku sudah sampai rumah. Kelak saat kau pulang, aku tunggu di gerbang,” Message sent to Sayangku.

 Diletakkannya ponsel hitam usang ketika ponsel merahnya bergetar. Sms baru. Ah, orang itu akhirnya sms juga. Sms dari orang yang sepekan ini ditunggunya siang malam. Senyumnya mengembang, perih sekaligus bahagia. Menertawakan kebodohannya mengirim sms untuk dirinya sendiri melalui ponsel suaminya. Kesepian dan rasa sendiri itu berubah menjadi kerinduan yang sempurna. Ada rasa cemburu yang mengigit. Jumat pekan kemarin suaminya tewas ditikam orang ketika mengisi pengajian di salah satu masjid di pelosok kampung. Pengajian rutin suaminya mengalihkan kebiasaan sabung ayam masyarakat kampung. Ia keburu pingsan untuk sekedar menengok bagaimana jasad lelaki itu. Toh ia masih ingat jelas percakapannya dengan suaminya pagi hari sebelum lelaki itu berangkat,

 “Sayang, Abang rindu syahid seperti yang dialami para pejuang muslim Palestina.”

 Perempuan itu menyusut air matanya. Ia juga rindu. Rindu pada suaminya. Namun lebih dari itu, ia cemburu pada suaminya. Ia juga merindukkan syahid sebagaimana syahidnya para mujahid.

Rindu bertemu Rabbnya. Apa warna rindu? Berpendar warna cahayanya mengelilingi bumi, melesat ke langit disambut salam.

 Rumah Cinta Al Hida, 16 April 2011 *Rindu