Selasa, 10 April 2012

Syauqi*

Apa warna luka? Bukankah Tuhan yang memberi rasa bernama luka. Kita memaknainya dengan warna bumi. Begitu juga rindu. Apa warnanya?

Perempuan itu menarik nafas pelan. Udara terasa menyesakkan baginya. Dilihat ponsel merahnya yang berisik sepekan ini. Sms dan telepon masuk, ada yang singkat, ada yang sedang, ada yang panjang sampai terputus. Rasanya, telinganya berkurang kepekaannya demi mendengar suara-suara di seberang dengan nada sama. Cukup sudah. Hari ini perempuan itu ingin sendiri. Benar-benar sendiri dan jauh dari semua orang.

Selepas shubuh ia mengunci pintu kamarnya dan tak beranjak hingga siang. Diam mematung sambil merenung. Ingin ia matikan ponselnya yang masih terus berisik menanyakan kabar ini itu hingga hari ini. Tapi ia masih berharap pada seseorang. Masih berharap ada telepon masuk dari orang itu, minimal sms. Nyatanya sepekan ini nomor berakhiran 609 itu tak kunjung menghubunginya. Padahal ia merasa ingin berada di sebelahnya. Di sebelahnya saja tanpa berkata apa-apa. Itu sudah cukup.

 Pintu kamarnya diketuk pelan,
 “Makan dulu Nak,” pasti Ibunya. Buru-buru ia membuang ingus dengan tisu agar suaranya terdengar normal.
 “Belum lapar,”
 “Nanti sakit. Sejak pagi belum makan,” suara Ibunya khwatir.

 “Aku tadi bikin teh Mah,” ia melirik teh madu di meja yang masih separuh. Sudah dingin sedari tadi. Hatinya sesak lagi. Teh madu kan favorit orang itu. Ia membenci ingatannya sendiri. Suara Ibunya akhirnya menjauh. Kenal betul karakternya saat duka. Ia hanya ingin sendiri. Sepi sekali rasanya kehilangan.

Ada yang luka di hati. Apa warna luka? Ia tersenyum pedih.

Ponsel merahnya masih sepi dari orang yang ditunggunya. Diraihnya ponsel lain di sisi meja. Ponsel hitam sederhana kalau tidak mau dibilang jadul. Ia menemukan sebuah nama di phonebook, Sayangku. Picisan sekali. Ia menggelengkan kepalanya merasakan sesak di dadanya bertambah dua kali lipat. Kenapa harus ada nama itu di ponsel ini? Dibukanya kotak pesan. Lagi-lagi sms dari seseorang bernama Sayangku memenuhi barisan sms di sana. Ia membuka salah satu sms sambil menarik nafas, “Kalo enggak cinta, aku enggak cemburu!” Sms singkat dengan nada marah. Sms pendek beraroma cemburu. Ia melihat tanggalnya, tiga bulan lalu, untuk apa masih disimpan.

Perempuan itu makin sesak membaca sms-sms lain dari sosok Sayangku yang usang waktunya, tidak jelas isinya namun masih memenuhi kotak pesan itu. Kenapa masih disimpan? Hatinya berkabut. Iseng, ia malah menulis sebuah pesan,

 “Sayang, aku sudah sampai rumah. Kelak saat kau pulang, aku tunggu di gerbang,” Message sent to Sayangku.

 Diletakkannya ponsel hitam usang ketika ponsel merahnya bergetar. Sms baru. Ah, orang itu akhirnya sms juga. Sms dari orang yang sepekan ini ditunggunya siang malam. Senyumnya mengembang, perih sekaligus bahagia. Menertawakan kebodohannya mengirim sms untuk dirinya sendiri melalui ponsel suaminya. Kesepian dan rasa sendiri itu berubah menjadi kerinduan yang sempurna. Ada rasa cemburu yang mengigit. Jumat pekan kemarin suaminya tewas ditikam orang ketika mengisi pengajian di salah satu masjid di pelosok kampung. Pengajian rutin suaminya mengalihkan kebiasaan sabung ayam masyarakat kampung. Ia keburu pingsan untuk sekedar menengok bagaimana jasad lelaki itu. Toh ia masih ingat jelas percakapannya dengan suaminya pagi hari sebelum lelaki itu berangkat,

 “Sayang, Abang rindu syahid seperti yang dialami para pejuang muslim Palestina.”

 Perempuan itu menyusut air matanya. Ia juga rindu. Rindu pada suaminya. Namun lebih dari itu, ia cemburu pada suaminya. Ia juga merindukkan syahid sebagaimana syahidnya para mujahid.

Rindu bertemu Rabbnya. Apa warna rindu? Berpendar warna cahayanya mengelilingi bumi, melesat ke langit disambut salam.

 Rumah Cinta Al Hida, 16 April 2011 *Rindu

Tidak ada komentar: