Kamis, 10 Februari 2011

Mencari Jalan Pulang

Sore yang gerimis ketika Asa mengemasi barang-barangnya. Melipat sejenak kertas peta yang kian kumal di saku jaketnya.Tak banyak yang ia bawa untuk perjalanan menuju titik ini. Tidak seperti ketika ia merencanakan pergi plesir ke luar negeri dengan alasan memperkaya ilmu. Tidak juga seperti ketika ia berlibur ke pedalaman sana, berlibur dengan label melakukan kunjungan sosial. Tak lagi begitu.

Sore ini Asa memutuskan pulang. Ia hanya ingin pulang menepis semua risau berkepanjangan yang mengantui malam-malamnya. Mendekap kesadarannya yang lebih sering raib ditelan alkohol. Ia hanya ingin pulang.

Kampungnya sendiri telah lenyap. Tertimbun lumpur, menenggelamkan kenangan kanak-kanaknya yang riang. Bermain petasan kala ramadhan dan pencarian ikan-ikan kali di sore yang cerah. Toh, ia tetap akan pulang walau tak yakin benar kemana. Ia ingin pulang.

Langkahnya meragu di jalan yang makin menyepi. Sepi benar orang-orang yang seide dengan arah kepulangannya. Ia berhenti sejenak, memandang ombak yang berdebur di pantai, sejauh ombak melebur ke laut, akhirnya berpulang juga ke pasir pantai.

“Kemana?” seseorang tiba-tiba sudah ada di sisinya, bertanya begitu saja. Asa menengok, mengeluarkan kertas kumal yang menjadi petanya, menunjukan sejenak pada orang asing yang berwajah menyenangkan.
“Akan jauh sekali,” orang asing berkomentar ringan.
“Aku tahu,” Asa menjawab singkat.
“Kau butuh bekal, mampirlah dulu di sini. Menyusun materi dan menyiapkan bekal. Tinggalah untuk beberapa lama.”
Asa nampak berpikir, memandang jauh ke lautan ombak.
“Itu kalau kau mau. Tak ada salahnya istirahat sembari membangun jejak di sini,” orang asing itu menghembuskan asap rokoknya, membuat lingkaran-lingkaran di udara.
“Tapi ini jembatan,” Ara protes.
“Jembatan ini begitu luas dan tak akan pernah kau merasa sempit karenanya,”
“Bagaimana bisa?”
“Begitulah adanya, pesona jembatan ini mampu menjerat orang-orang yang ragu. Melemahkan tekad dan mencintai dunia,”
“Aku tak begitu,” terang Asa menolak.
“Kau dulu begitu. Pernah begitu dan menikmati duniamu di atas jembatan lain. Mari kita ulang peradabanmu.”
“Aku akan membangun peradabanku,”
“Tentu saja,”
“Tapi bukan di sini,”
“Sudah ku katakana, tak ada yang sempit di sini,”
“Tidak, kau salah. Aku akan membangunnya di kampung titik akhir.”
“Kau bercanda, bukalah matamu untuk jembatan ini,”
“Ini hanya jembatan kawan.”
“Helo? Tidakkah kau terpesona karenanya,”
“Pernah. Aku sudah pernah kagum. Aku telah terbiasa hingga jenuh dan bosan menyergapku di jembatan sebelumnya.”
“Kali ini tidak,”
“Tidak kawan. Aku akan pulang. Kerinduanku memuncak untuk bertemu denganNya,”

Orang asing itu menghilang. Suara ombak kembali berdebur mengembalikan eksotisme pantai dan lembayung senjanya.

Asa kembali melangkah melewati jembatan pada titik akhir yang misterius. Sudah waktuya berhenti bermain-main dengan dunia. Ia akan pulang ke kampung akhirat karenanya ia harus terus berjalan. Jembatan hanya untuk singgah, bukan menetap.Tak lazim bukan tinggal di atas jembatan, begitulah perumpaan dunia.
Diliatnya lagi peta lecek di tangannya, tertulis jelas judulnya, “Peta menuju Khusnul khatimah”

Rumah cinta Al Hida, 20 Januari
Gelang sipatu gelang, gelang si rama-rama
Mari pulang..marilah pulang…marilah pulang bersama-sama

Tidak ada komentar: