Rabu, 08 Desember 2010

Prestasi Kepemimpinan Kita

Bagaimanapun caranya engkau lahir ke dunia, kau telah dijemput takdir untuk menjadi seorang manusia. Makhluk dengan keluwesan akal pikiran untuk memahami konsep vertical horizontal kehidupan. Hubungan transedental ketuhanan dan social kemasyarakatan. Tak berlebihan jika manusia mengantongi gelar makhluk sempurna dalam jajaran hamba Allah lainnya.

Sama halnya dengan kelahiran manusia menjadi pemimpin. Peran kekhalifahan yang tak mampu diemban langit, ditolak gunung dan ditampik bumi. Ada pemimpin yang dilahirkan karena sengaja disiapkan dengan beragam treatmen, ada pula pemimpin yang lahir karena momentum, situasi yang memaksa. Toh keduanya selalu berkaitan dan saling mempengaruhi. Seorang pemimpin yang lahir karena momentum paling tidak pernah menyiapkan dirinya menjadi pemimpin, minimal memimpin dirinya sendiri. Mengelola akal, hati dan jiwa yang melekat padanya. Torehan Prestasi Pedang Allah

Tak ada yang menyangka, lelaki yang menggentarkan kaum muslim dalam perang Uhud- perang yang mengantarkan banyak sahabat dan para penghafal Al Qur’an syahid di medan jihad, di kemudian hari justru menjadi komandan perang kaum muslim.
Ialah Khalid Bin Walid, seorang yang memohon kepada Rasulullah agar memintakan ampun pada Allah atas masa lalunya begitu ia berbaiat masuk islam kelak kita kenal sebagai pedang Allah Yang Terhunus. Bukan semata karena ketangkasannya berperang namun juga kecerdikan strateginya hingga mampu menundukkan kaum murtad, membumi ratakan kerajaan Persia dan Romawi hingga menjelajahi bumi Irak dan dimenangkannya islan di tanah Syiria. Prestasi sejarah yang Allah catatkan untuknya semasa menjadi komandan perang kaum muslim.
Catatan prestasinya tak menjadikan Khalid menjadi panglima yang serakah, lihatlah bagaimana seruannya sebelum perang melawan Romawi,
“Hari ini adalah hari-hari Allah. Tak pantas kita di sini berbangga-bangga dan berbuat durhaka. Ikhlaskan jihad kalian dan harapkan ridha Allah dengan amalmu. Mari kita bergantian memegang pimpinan, yaitu secara bergiliran. Hari ini salah seorang memegang kepemimpinan, besok yang lain, lusa yang lain lagi sehingga seluruhnya mendapat kesempatan memimpin.”
Kerendahan hati yang lembut kita rasakan dalam kata-katanya yang mengguah. Tak heran, ketika khalifah Umar bin Khatab mengganti posisi komandan perang dengan Abu ‘Ubaidah, Khalid dengan kejujuran dan kerendahan hati yang mendalam mengungkapkan bahwa, sama saja baginya menjadi panglima ataupun prajurit. Masing-masing membawa kewajiban yang harus ditunaikan kepada Allah yang ia imani.
Berbekal Tekad Yang Menghujam
Bagaimana dengan prestasi kita dalam memimpin, sedangkan profil kepemimpinan kita terang dilihat dari bagaimana titah kita memimpin diri. Bagaimana nurani mampu mempengaruhi keputusan dan hati menjadi raja atas akal bukan menjadi budak atas nafsunya. Karenanya, menjadi pemimpin juga perkara tekad, bukan sekedar torehan pretasi. Azzam yang kuat untuk mengelola jasad, akal dan hati.
Sementara kita kebanyakan terbiasa dengan sesuatu yang instan, menginginkan semua siap saji tanpa perlu waktu dan proses yang matang. Tidak ada tekad yang kuat untuk melakukan sesuatu. Inilah kemiskinan yang menggerogoti jiwa-jiwa kita, miskin tekad. Tekad yang kecil dan lemah membuat kita tak memiliki orientasi
Bukankah Rasulullah saw adalah manusia biasa dengan tekad yang luar biasa. Impiannya membumikan islam bukan perkara membalikkan telapak tangan. Ada tekad yang lahir dari keyakinan dalam dadanya. Tekad yang membutuhkan kerja-kerja nyata. Tekad yang bukan sekedar ’ingin’ namun juga ’akan’. Tekad dengan usaha,
“…kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya” (terjemahan surat Ali Imron ayat 159)
Keberkahan Usia Kepemimpinan
Waktu menjadi catatan kepemimpinan yang mengikuti alur usia kita. Selama-lamanya masa yang kita habiskan untuk memimpin diri maupun orang lain, tidak menjadi jaminan prestasi kepemimpinan kita. Hakikat keberhasilan usia ada pada keberkahannya. Jika usia kepemimpinan yang panjang dapat benar-benar bermanfaat untuk kebaikan lebih banyak orang, itulah sebaik-baik kepemimpinan. Segala perkaranya adalah kebaikan. Dan itu tidak terjadi kecuali pada pemimpin yang beriman. Jika mendapat nikmat, ia bersyukur, dan syukur itu baik baginya. Jika ditimpa musibah dia bersabar, dan sabar itu baik baginya (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi).

Alif laammiim, janganlah ditanya kenapa, biar saja Allah yang tahu alasannya. Tugas kita sebagai muslim adalah menyiapkan lembaran sejarah kepemimpinan dengan mengoptimalkan segenap potensi kebaikan. Janganlah ditanya bagaimana kelak sementara momentum selalu datang lebih cepat daripada persiapan yang mampu kita himpun. Tugas kita adalah menghidupkan tekad kepemimpinan. Biar nanti takdir yang menjemput usaha kita. Jika kelak menjadi prestasi, maka biarlah ia menjadi jejak-jejak yang menginspirasi tiap generasi.
Partai TUGU UNY, Together with you..

Tidak ada komentar: