Sabtu, 04 Desember 2010

Berkawan Dengan Kemiskinan


Miskin itu wajar. Sangat dekat dengan keseharian dan lingkungan kita. Seringkali kemiskinan dinilai dengan materi, artinya saat sesuatu itu berjumlah sedikit itulah miskin. Pandangan miskin muncul ketika ada pembanding dengan kondisi yang lain. Toh bukan solusi menghapus kemiskinan ketika semua dijadikan sama rasa sama rata.

Miskin Harta
Budaya utang piutang bukan hal baru dalam masyarakat kita. Meminjam harta orang lain guna memenuhi kebutuhan adalah biasa, terlebih bagi orang miskin. Meminjam uang adalah salah satu cara efektif melanjutkan hidup.

Diantara budaya hutang ala orang miskin inilah kebanyakan kita akan mendapati bahwa tak selalu mereka yang miskin mengembalikan uang pinjamannya, ada janji yang tidak ditepati. Diantara hutang dan kebutuhan si miskin pula seringkali kita membaca tindak kriminal dan tak terpuji mereka di media massa. Tentu saja tidak seluruh kaum miskin begitu, sayangnya sebagian besar iya.

Namun, bukankah Rasulullah saw mencintai orang miskin? Betapa sang Nabi mampu berkawan dan berbagi dengan orang-orang miskin meski perilaku mereka tidak menyenangkan. Tentu saja bukan karena orang miskin itu hebat namun Rasulullahlah yang luar biasa.

Bagaimanapun bebalnya mereka, Rasulullah saw mengajak kita menyantuni mereka. Pun jika dalam penilaian kita, mereka adalah orang-orang malas, tak mau berusaha dan mengandalkan orang lain, Rasulullah tak pernah menolak mereka yang meminta apalagi menghardiknya.

Miskin Tekad
Kita kebanyakan terbiasa dengan sesuatu yang instan, menginginkan semua siap saji tanpa perlu waktu dan proses yang matang. Tidak ada tekad yang kuat untuk melakukan sesuatu. Inilah kemiskinan yang menggerogoti jiwa-jiwa kita. Tekad yang kecil dan lemah membuat kita tak memiliki orientasi untuk bekal hidup terlebih bagi bangsa.

Bukankah Rasulullah saw adalah manusia biasa dengan tekad yang luar biasa. Impiannya membumikan islam bukan perkara membalikkan telapak tangan. Ada tekad yang lahir dari keyakinan dalam dadanya. Tekad yang membutuhkan kerja-kerja nyata. Tekad yang bukan sekedar ’ingin’ namun juga ’akan’. Tekad dengan usaha,

“…kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya” terjemahan surat Ali Imron ayat 159,.


Alif laammiim, janganlah ditanya kenapa, biar saja Allah yang tahu alasannya. Tugas kita sebagai muslim adalah menyiapkan lembaran sejarah dengan mengoptimalkan potensi kebaikan dalam diri kita. Miskin harta tak menjadikan tekad seorang muslim menjadi lemah dan luruh. Sebaliknya, mencintai kaum miskin semoga bisa melahirkan tekad untuk mengentaskan ketidakberdayaan mereka.

Janganlah ditanya bagaimana kelak, tugas kita adalah memperjuangkan kebaikan agar islam menjadi rahmat bagi semesta alam, membumikan sunah Rasulullah dengan meninggikan kalimat Allah. Biarlah nanti takdir yang menjemput usaha kita.

Rumah cinta Al Hida, 5 Des 2010
dalam jeda yang amat...

Tidak ada komentar: