Jumat, 03 Desember 2010

Tembang Ilalang, Senandung Perjuangan Muslim




Mataku menangkap sebuah buku dengan sampul ganda, di rak buku kawanku. Tebalnya tak seberapa dengan judul yang menarik bagi saya, Tembang Ilalang. Mengingatkan pada dua hal yang bertolak, tembang yang megingatkan pada budaya nembang kaum Jawa dan ilalang, padang rumput tak bertuan dengan perpaduan hamparan hijau dan birunya atap langit. Toh sampul buku yang memuat dua kisah itu justru menampilkan dua warna, hijau dan coklat.

Buku terbitan Semestanya Pro U Media yang ditulis oleh MD. Aminudian ini awalnya mengundang perhatian saya bukan saja karena judulnya yang bagi saya romantis namun juga rangkaian kalimat di bawah judul buku, ‘pergolakan cinta melawan tirani’, whats up?

Diam-diam saya selami buku yang awalnya nampak suram karena kisahnya yang lama, mengembalikan ingatan pada sudut-sudut masa lalu Indonesia. Dalam kisah bagian pertama kita temukan sepenggal cerita yang berbaur dengan sejarah. Penjajahan Belanda yang melahirkan sekian penderitaan rakyat. Tak kurang antek-antek Belanda yang orang pribumi asli namun justru menambah beban penderitaan rakyat. Politik etis yang notabenenya balas budi Belanda tak cukup memberi ruang pada pribumi kebanyakan untuk belajar. Kisah keduapun tak kalah menakjubkan, penjajahan saudara tua Asia tak kalah buruknya. Berbagai agenda pelibatan rakyat tidak lain hanyalah cara untuk mengakomodir kepentingan Jepang. Belum lagi romusha dan penyerahan bahan pangan pokok yang semakin memiskinkan rakyat.

Selain itu tentu saja, kisah cinta Asroel dan Roekmini yang begitu dalam namun sederhana melarutkan semua definisi cinta dalam kamus saya. Jika cinta dimaknai dengan sekotak coklat, setangkai mawar maupun selarik puisi, tidak begitu dengan cinta keduanya. Bukan cinta picisan yang mengumbar rasa sebelum waktunya. Perpisahan keduanya tak menjadikan rasa putus asa dalam bertahan dalam penantian dan bertahan dalam usaha untuk saling menemukan, sebaliknya keduanya kita temukan dalam bingkai setia. Cinta Asroel dan Roekmini menerjemahkan kata setia dalam lika-liku hidup yang menakjubkan. Menghapus segala definisi cinta yang bertele-tele dan memabukkan. Maka benarlah, cinta Asroel dan Roekmini adalah perjuangan melawan tirani.

Lebih jauh lagi maka dalam kedua kisah tersebut kita temukan bahaya laten yang mengakar di kedua masa penjajahan. Gerakan terselubung anti tuhan, yang mampu memobilisasi masa petani yang sebagian justru muslim untuk turun dan bergabung. Komunis benar-benar seperti api dalam sekam yang merambat di banyak sisi kehidupan rakyat. Mengingatkan pada gerakan anti tuhan masa kini, bisa jadi bukan komunis namun perang pemikiran yang menimbulkan tren baru dalam dunia manusia. Gaya hidup dan kebiasaan yang jauh dari akhlak-akhlak islami tanpa disadari akan membawa kehidupan ini menjauhi agama. Bukan agama secara formal dengan ritualnya namun agama sesungguhnya ada pada aqidah yang lurus dan kokoh.

Buku ini menunjukan bagaimana sejarah begitu memikat dengan tuturan yang lugas lagi jelas tanpa kehilangan nilai estetika sastranya. Buku ini menceritakan sejarah yang tak sekedar cerita namun ideologi dalam masa kurun waktu sejarah berbeda-beda. Tak banyak sungguh yang kita tahu dari sejarah, terlebih sejarah yang dipelajari di bangku sekolah selain pemutar balikan fakta semudah memutar roda sepeda.

Tembang Ilalang menembangkan bagaimana perjuangan islam sejak jaman pra kemerdekan dengan basis pesantren maupun kyai-kyainya yang teguh pendirian. Tak mau berkompromi dengan penjajah jika rakyat tumbalnya. Bahkan sekedar memberi penghormatan kepada kaisar Jepang dengan posisi seperti ruku’, Kyai Zaenal dalam kisah tersebut menolak tegas. Bagi saya ini hal langka yang kini pun sukar kita temui dalam kehidupan. Sikap takzim seorang ulama kepada penguasa selayaknya tetap memperlakukan penguasa sebagaimana manusia biasa, tak berlebihan. Ada semangat berislam yang sempurna di sana. Bagaimana bersikap lembut kepada muslim dan tegas kepada kaum kafir.

Semangat para santri Kyai Zaenal sendiri mengingatkan pada kondisi perang di jaman para sahabat. Bagaimana keputusan Larto dan Kang Jasin untuk mengedepankan strategi dan menghimpun kekuatan terlebih dahulu tanpa memadamkan semangat juang para santri sebelum menyerang antek-antek Jepang yang menangkap Kyai Zaenal.

Kuatnya tekad para pemuda dalam kisah ini sungguh berbanding terbalik dengan realita pemuda dewasa ini yang lemah. Segala potensi yang dimiliki hendaknya dioptimalkan guna mendukung perjuangan islam dan bangsa kita, pun dengan kapasitas menulis masing-masing dari kita. Bukankah kita belajar bagaimana menunjukan setiap kebenaran walaupun satu kata. Ada sihir dalam kata, begitu sabda Rasulullah.

Sebagaimana keteguhan bung Oemar, nama lain Asroel dalam menuliskan kebenaran. Dakwah bil qolam. Kemampuannya menulis berita dengan landasan kebenaran senantiasa menyala walaupun korannya pernah dibredel pemerintah penjajah kala itu. Bahkan biarpun Tja Ib, sang pimpinan koran ditangkap Belanda. Kita belajar semangat bung Oemar dalam berdakwah malalui tulisan. Sungguh, niat menuliskan kebenaran dengan tekadnya jauh lebih tinggi dibandingkan sekadar ancaman penjajah terhadapnya.

Dua tokoh keturunan Belanda yang turut dalam perjuangan ini, Stientje, seorang dokter yang membantu Asroel dalam mendirikan sanggar belajar dan memfasilitasi kesehatan para buruh sekaligus jatuh cinta pada sosok pribumi dan tanah Indonesia serta Larto, pemuda yang menemukan Tuhan usai keterombang-ambingan paham komunis dan segenap peristiwanya meyakinkan kita bahwa cinta tanah air tak terbatas pada batas wilayah Negara dan bangsa. Sebagaimana cinta tanah airnya Hasan Al Banna, bahwa tanah air dalam islam adalah tanah dimana di sana ada keyakinan kepada Allah SWT, ada kumandang Laillahaillallah.

Maka kita memahami alasan muslim dunia, khususnya Indonesia dalam membela Gaza di Palestina sana, dalam mendukung perjuangan kaum muslim di Filipina maupun di negara lain. Karena muslim sesungguhnya adalah satu tubuh. Ketika ada bagian tubuh yang sakit, sudah seyogyanya bagian tubuh yang lain juga merasakan sakit yang sama.

Sungguh langka bisa menemukan buku yang menceritakan sejarah dengan benar yang di dalamnya bisa kita dengar nada-nada perjuangan kaum pribumi terutama muslim dalam meraih kemerdekaan bangsanya. Sementara saat ini kita yang menjadi generasi penikmat kemerdekaan justru kehilangan ruh merdekanya. Kehilangan semangat mengisi dan membangun kemerdekaan dengan usaha-usaha positif para pemudanya. Novel ini menunjukan semangat perjuangan yang luar biasa dengan keteguhan hati sekaligus kokohnya iman.

Maka benarlah, kisah pertama cerita ini ditutup dengan Alif laammiim, janganlah ditanya kenapa, biar saja Allah yang tahu alasan dan akhir hidup kita. Tugas kita sebagai pemuda muslim adalah menyiapkan lembaran sejarah dengan mengoptimalkan potensi kebaikan dalam diri kita. Janganlah ditanya bagaimana kelak, tugas kita adalah memperjuangkan kebaikan agar islam menjadi rahmat bagi semesta alam, membumikan sunah Rasulullah dengan meninggikan kalimat Allah. Biarlah nanti takdir yang menjemput usaha kita.

Maka, Tembang Ilalang bukan sekedar kisah namun ada dendang-dendang tembang perjuangan, nada-nada tembang jatuh hati sekaligus tembang duka akan negeri.

Kisah ini untuk diikutsertakan dalam Lomba Kisah Menggugah Pro-U Media 2010 di http://proumedia.blogspot.com/2010/10/lomba-kisah-pendek-menggugah-pro-u.html

Tidak ada komentar: