Kamis, 02 Desember 2010

Hijrah, Karena Sejarah Perlu Disiapkan

Di salah satu sudut kampus hijau yang rindang.
Lingkaran ceria yang kelak kan meneguhkan langkah-langkah mereka

“Besok kita ngaji lagi ya?” suara seorang wanita yang menjadi pusat lingkaran dijawab dengan anggukan kecil bersemangat beberapa orang. Tiwi terdiam sejenak kemudian berkata,

“Tapi materi ngajinya jangan melarang pacaran ya mba?” senyum usilnya muncul.

Beberapa teman tersenyum geli mendengarnya, maklum bahwa masih ada beberapa orang yang pacaran dalam lingkaran itu.

“Ha ha ha, nggak de’, mba nggak melarang pacaran,” wanita itu tersenyum bijak. Ada keteduhan dalam ucapannya, “kelak kalian akan memahami sendiri.”

Langit sempurna birunya melingkupi suasana hamparan rumput hijau di bawah pepohonan timur kantor Rektorat UNY. Ada cinta yang menangkup dalam lingkaran mereka.

***



Penghujung 2006 yang hujan. Beberapa hari ini tugas kuliah membuat Tiwi keteteran.
Belum lagi agenda himpunan mahasiswa (hima) yang ramai.
Tiwi memang tidak benar-benar terlibat di hima, awalnya ia sama sekali tak berminat pada rangkaian agenda organisasi kampus, bukannya apatis, Tiwi hanya ingin berubah, mencoba hal-hal baru dalam kuliah mengingat masa SMP dan SMAnya ia habiskan tak jauh dari rutinitas organisasi.

Ponselnya tiba-tiba berbunyi, 1 pesan baru.

“De’, nanti malam jadi ke bookfair ya? Tak jemput setelah isya,” isi sms singkat barusan membuat Tiwi tersenyum riang, betapa tidak, Anto, teman dekatnya akan mengajaknya ke Islamic bookfair di Mandala Krida malam ini.

Sudah lama memang mereka merencanakan akan datang ke bookfair, Tiwi berencana membeli buku.
Bukan buku biasa bagi Tiwi, namun ia sendiri tak tahu buku apa yang akan ia beli nanti.

Belakangan sejak Tiwi iseng ikut kajian yang diadakan unit kegiatan kerohanian di fakultasnya.
Ia bertemu dengan orang-orang baru yang baginya unik dan ajaib.
Penampilan mereka jauh berbeda dengan mahasiswa kebanyakan dengan sikap santun serta menjaga.
Benar-benar membuatnya tertarik.

Nah, di salah satu kajian itu ada pembahasan tentang menikah di usia muda dan pandangan terkait pacaran.
Apalagi kajian kelasnya pekan kemarin juga menyinggung hal yang saja.
Di kampusnya, mahasiswa baru yang mengikuti mata kuliah pendidikan agama islam selain mendapat pendampingan melalui tutorial pendidikan agama islam setiap pekan juga mengikuti kajian kelas sebulan sekali.
Tak heran, akhir-akhir ini ada hal baru yang menggelitiknya, menikah tanpa pacaran.

Sebagai oknum yang memiliki teman lelaki dekat, Tiwi merasa asing dengan gagasan menikah tanpa pacaran.

Baginya pacaran itu penting untuk mengenal satu sama lain diri dan keluarga yang bisa jadi kelak menjadi keluarga baru. Semacam prasyarat menuju maghligai rumahtangga.
Makanya ia sensitif sekaligus penasaran dengan gagasan tersebut

***


Suasana Jogja Islamic Bookfair malam itu tak begitu padat.
Paling tidak, Tiwi dan Anto masih bisa berjalan diantara lalu lalang orang.
Menghampiri jajaran buku hampir di tiap stand sambil melihat dan membaca beberapa buku.
Keduanya nampak paling sering membolak-balik buku-buku tentang pernikahan baik buku-buku psikologi, pengetahuan maupun buku-buku islami.
Hingga sampai di salah satu stand, tangan Tiwi meraih satu buku, yang tidak saja tentang pernikahan tapi juga pacaran, satu hal yang masih ia lakoni saat itu.
Membaca kalimat di belakang buku,

buku ini dipersembahkan untuk mereka yang lagu jatuh hati
atau sedang pacaran bersama doi
yang dipenuhi hasrat nikah dini tapi belum bernyali
yang sedang menjalani proses penuh liku
dan yang ingin melanggenkan masa-masa indah pernikahannya.

“Yakin mau beli buku itu?” tanya Anto gamang.

Tiwi mengangguk bersemangat, membayarkan uang dua puluh delapan ribu rupiah sebagai efek diskon sambil memandang lekat buku itu, Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan, goresan Salim A. Fillah.

***



Januari yang riang di awal tahun 2007 tak seriang hati Tiwi.
Belakangan terasa ada yang mengganjal pikirannya.
Terasa ada yang salah dalam dirinya.
Sejak ia membaca buku Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan nampak terang baginya pasal pacaran itu.

Mendadak hatinya mengakui apa yang pernah beberapa jilbaber itu sampaikan terkait hubungan dengan lawan jenis, hatinya menyadarai kebaikan pada sikap para jilbaber yang menjaga diri dan pandangannya, mengangguk-angguk sendiri dalam membaca buku.

“Mas, kamu juga baca bukunya ya. Bagus lho, ada beberapa hal yang ingin kudiskusikan,” kata Tiwi suatu ketika.

Anto membuka buku-buku itu sejenak,
“Aku diceritain aja deh, baru kita diskusi. Kamu kan tahu, aku lagi baca banyak buku untuk mendukung skripsiku.” Tiwi mengangguk-angguk mengerti.

Maka Tiwi menggaris bawahi beberapa kalimat di buku itu, membuatnya terlihat lebih mencolok dibandingkan kalimat lain. Kalimat-kalimat terkait hubungan dengan lawan jenis, bagaimana lelaki memandang wanita yang menjadi pacarnya serta ayat-ayat al qur’an yang tercantum di buku itu.

Hari-hari Tiwi dan Anto menjadi gundah.
Tiwi mendiskusikan buku itu pada Anto, menceritakan kekalutan hatinya dan ketakutannya pada Allah, Sang Pemilik Hati sejati.

“Karena itu mas, Tiwi pengin sekarang kita berteman saja,” ucap Tiwi akhirnya usai menceritakan kegundahannya.

“Maksud kamu?” Anto meminta ketegasan.

“Ya, kita putus,” terasa ada yang menggantung dalam ucapan Tiwi.

Anto diam dalam jenak waktu yang terasa panjang.
Tiwi kelu, terasa hatinya sakit sendiri setelah mengucapkan kalimat barusan.
Dikuatkannya matanya agar tak basah.
Ditabahkannya hatinya agar tak luluh.
Sungguh ya Allah, Tiwi ingin berubah.

Toh tekad itu belum setegar karang, cair kepanasan oleh matahari Januari.
Mereka masih pacaran, Anto menolak putus dan hati Tiwi jatuh lagi.
Pacaran yang aneh rasanya.
Paska kejadian itu, mereka menjadwalkan kapan mereka ketemu.
Jika dulu hampir setiap hari mereka bertemu, kini sepekan hanya dua kali, Rabu dan Sabtu malam, sisanya mereka sepakati untuk hal-hal lain yang lebih bermanfaat dan kuliah. Bahkan keduanya bersepakat dan saling bersemagat menjalankan puasa sunah senin-kamis bersama.
Bahkan saling miss call untuk membangunkan shalat malam.
Duh Gusti, sesungguhnya tipu daya setan itu benar-benar terselubung.

***


Akhir pekan ini teman sekos Tiwi mengajanya mengikuti bedah buku di salah satu kampus di deretan ring road utara. Aneh sekali, Tiwi merasa bahwa Allah sedang membentangkan jalan untuknya, membuka lebar-lebar pintu taubat,

Bedah buku Change Now karya Rahman Hanifan itu membuka kembali hatinya yang luluh.
Sungguh, ia tak ingin setengah-setengah dalam berubah.
Diam-diam air matanya luruh saat agenda bedah buku itu.
Ia tidak saja mendapat motivasi namun juga merasa mendapatkan kekuatan untuk melangkah lagi.
Luar biasa hebatnya kata-kata, maka benarlah sabda Rasulullah, ada sihir dalam kata-kata.

***


Malam itu langit terang lagi hening.
Tiwi terduduk usia shalat malamnya, dikeluarkannya segala resah dan pinta.
Menekuri perjalanan hidupnya hingga kini, menyadari bahwa Allah semata yang mengantarkannya hingga kini.
Kuasa Allah semata yang menghadirkan segala rangkaian peristiwa dalam hidupnya.

Ia ingat-ingat lagi buku Nikmatnya Pacaran Setelah Pacaran yang membangun pemahamannya terkait batasan hubungan dengan lawan jenis, mendorong kesadarannya untuk mengakhiri pacarannya.

Ia ingat-ingat lagi materi yang pernah diberikan tutor pendidikan agama islamnya tentang rambu-rambu pergaulan dengan lawan jenis, tentang bagaimana ia melihat para jilbaber dan lelaki berjenggot dengan celana cungklang itu menjaga sikap dan pandangannya.

Ia ingat-ingat lagi materi bedah buku Chage Now, berubahlah sekarang.
Ia ingat semuanya, sungguh seperti rekaman dalam otaknya yang berputar terus menerus.
Hidayah tidak selalu datang dua kali.
Bisa jadi ketika hidayah itu datang dan kita belum siap, Allah akan mengambil kesempatan itu dari kita.
Ia ingat itu semua ya Allah.
Yang ia butuhkan sekarang adalah kekuatan untuk bersikap dan berubah.

Wahai Engkau Sang Pemilik Kekuatan Sejati, karuniakanlah kekuatan padaku untuk berubah.
Sesungguhnya janjiMu adalah pasti, bisiknya dalam isakan malam itu.
Doanya melesat ke langit, berpilih dengan jutaan doa dengan harapan yang sama, kabulkanlah ya Rabb.

***


Tiwi menundukkan pandangannya kuat-kuat, ia sudah tak lagi sanggup bicara dan memandang lelaki di depannya.
Semua alasan sudah ia kemukakan. Bahwa ia ingin berubah, itu pasti.

“Dek, kalo emang udah bosan dengan pacaran ini, gak perlu pakai alasan mau berubah segala. Gak perlu pakai alasan mau menjaga hati segala,kamu itu masih kecil, masih muda, emang nanti bias bertahan dengan perubahanmu?”

Astagfirullahaladzim, desis Tiwi pelan, hatinya tersengat karenanya.
Tak mengira begini tanggapan Anto atas niat baik Tiwi meminta putus.
Terasa benar azzamnya diremehkan.

Toh ia tetap menunduk, tak kuasa menyangkal. Bukan, bukan karena itu benar, tapi terasa sekali sakit di hatinya.

“Udahlah gak usah munafik,” Anto menatap Tiwi tajam, “ siapa lelaki itu?”

Astagfirullahaladzim, kali ini air mata Tiwi meluncur kuat betapapun ia tahan kuat-kuat.
Bisa-bisanya Anto menuduh seperti itu.

“Mas, insyaAllah niat Tiwi putus dan berubah adalah karena Allah, bukan karena yang lain.” Tiwi menarik nafas panjang, mengisi paru-parunya dengan udara segar.

“Tiwi benar-benar ingin berubah. Tiwi takut dosa dengan hubungan kita selama ini, Tiwi takut Allah tidak ridha. Kelak, jika memang Tiwi akan menikah, maka semoga tidak lagi ada pacaran sebelumnya,” tuturnya kembali tenang, mencoba tidak terpancing.

“Ya sudah, kita menikah saja.” Suara Anto meninggi. Tiwi tersentak, melihat tatapan kemarahan di mata lelaki itu. Tiwi hanya menggelengkan kepalanya tak tahu harus bagaimana.

“Kenapa? Apa karena aku kurang shalih?”

Tangis Tiwi benar-benar pecah.
Sungguh, pertengkaran ini benar-benar membuatnya kelu dan sedih.
Ya Allah, terasa berat kali ini jalan menuju perubahan itu.
Ya Allah, kuatkanlah…

***

Tiwi menarik nafas panjang, ada kelegaan sekaligus keharuan di dadanya usai menuliskan sepenggal kisahnya.
Lewat tiga tahun sudah ia hijrah ke jalan cinta para pejuang islam, jalan dakwah yang semoga Allah ridha karenanya.
Ia tak tahu sampai kapan ia ada di jalan ini, namun selalu ada pinta bahwa Allah senantiasa meneguhkan langkahnya.

Bahwa dalam jalan yang dipilih Tiwi penuh dengan aral, itu adalah konsekuensi.
Betapapun, di tengah himpitan dan kesulitan itu, Tiwi selalu menemukan celah harapan dan Allah senantiasa memberikan jalan.

Cukuplah baginya Allah sebagai sebaik-baiknya pelindung dan penolong.
Cukuplah kini cinta Allah semata yang ia rindu.
Cukup Allah semata hingga kelak Allah kan menggenapkan untuknya janji yang ia yakini.

Jadikan cintaku padaMu Ya Allah
Berhenti di titik ketaatan
Meloncati rasa suka dan tidak suka
Karena aku tahu
MentatiMu dalam hal yang tak kusukai
Adalah kepayahan,perjuangan,dan gelimang harta
Karena seringkali ketidaksukaanku,
hanyalah bagian dari ketidaktahuanku

(Salim A. Fillah dalam Jalan Cinta Para Pejuang)





Rumah Cinta Al Hida, 3 Desember 2010

semusim inspirasi dari Tiwi*


Kisah ini untuk diikutsertakan dalam Lomba Kisah Menggugah Pro-U Media 2010 di http://proumedia.blogspot.com/2010/10/lomba-kisah-pendek-menggugah-pro-u.html

Tidak ada komentar: