Kamis, 18 September 2014

Persalinan Nyaman ala Ochiko

Tanggal 26 Desember 2012 tidak pernah masuk list planing kelahiran anak pertama kami. Meski HPL (hari perkiraan lahir) debay kami 4 Januari 2012, kami sempat berharap kelahiran bisa terjadi secara alami di tanggal-tanggal cantik bulan Desember, 12-12-12 kek, 20-12-2012 kek, atau 31-12 biar sama kayak tanggal nikahan kami.

Melewati trimester kedua, kami mulai merencanakan persalinan pertama ini. Plan A kami persalinan dengan homebirth, waterbirth dan lotusbirth. Selama hamil, kami mendatangi 6 bidan di BPS (bidan klinik swasta), 4 puskesmas, 2 rumah sakit  guna mencari nakes (tenaga kesehatan) yang sesuai dengan birthplan kami sekaligus mensurvei beragam fasilitas kesehatan yang mau mengakomodir plan kami. Well, semua bidan yang kami temui di Sleman menolak untuk homebirth dengan alasan administratif, tidak lagi diperbolehkan dinas kesehatan setempat. Kami menyebrang kabupaten ke Bantul atas rekomendasi seorang kawan dan mendapatkan bidan yang mau mengakomodir homebirth asalkan persalinan terjadi di luar jam kerja dinasnya. Repot juga sih, saya kan tak bisa memastikan jadwal dan jam kelahiran debay kelak.

"Kalo terpaksanya unassisted gak pa-pa ya?" suami mulai mengusulkan dan mewacanakan ide itu dalam otak saya.
"Istikharoh dulu deh," tapi sejak itu, kesiapan untuk unassisted muncul dalam diri saya.

Memasuki pekan ke 37 usia kandungan, saya mulai galau menanti kelahiran debay. Berulang kali menanyakan ke suami, "kenapa debay gak lahir-lahir ya?", kata suami nunggu kami beli perlak buat alas ompol yang belum sempat dibeli. Seringkali komunikasi ke debay, "ayo shalih mau lahir kapan, umi udah kangen nih," paling cuma dijawab gerakan halus dari dalam perut yang artinya ambigu. Sampai nelpon Ibu segala, nanya ke ibu kenapa debay gak lahir-lahir, "lha wong HPL juga belum udah mau lairan," jawab ibu.

Aih aih, bukankah saya sudah berulangkali membaca, belajar dan mencoba memahami bahwa setiap bayi punya waktunya masing-masing untuk launching. Lebih tinggi lagi, tentu saja saya percaya takdir kelahiran seseorang sudah tertulis lampau. Lebih baik menghabiskan waktu jelang HPL dengan lebih optimal memberdayakan diri untuk sambut persalinan bukan? Nyatanya saya justru larut galau dan malah makin jarang menyiapkan diri.

Jalan kaki sehat ke pasar pagi makin jarang saya lakoni. Goyang inul pake gymball pinjaman umi Taqiyya makin jarang tersentuh. Senam hamil downloadan youtube tak lagi diputar. Yoga yang menguras keringat malas dijalani. Membaca artikel kehamilan pun lebih sering dilakukan suami daripada saya. Sampai fiksasi birthplan sampai ketok palu di bidan teakhir juga belum beres.

Jadilah saya bermalas-malasan tak memberdayakan diri di jelang kelahiran. Maunya yang enak-enak saja. Menyisakan latihan pernafasan perut (oleh-oleh latihan teater djadul) tiap pagi saat pup, rileksasi pijat endoprin, pijat perineum, having fun bareng suami, sampai mengkonsumsi nenas dan durian.

26 Desember 2012, 07.30an wib
"Tadi dedeknya gerak-gerak lho pas diajak ngobrol sambil nyanyi," suara suami membangunkan saya. Ia masih asik menyenandungkan lagu karangannya sendiri sementara saya belum sepenuhnya sadar dari tidur. Semalam mati listrik, saya tak bisa tidur sampai dini hari dan merasa masuk angin. Habis shubuh dan rutinitas matsurat, saya memilih tepar meski sempat diajak suami jalan pagi.

07.50an
Merasakan kontraksi pada perut yang sebelumnya belum pernah dirasakan. Ternyata memang rasa kontraksi itu berawal dari pinggang dan menjalar ke depan. Saat kontraksi berlangsung, rasanya gak bisa ngapa-ngapain selain bernafas. Toh saya pikir persalinan masih lama, kelahiran pertama gitu loh. Saya masih sempat jalan belanja keluar kompleks rumah. Pas kontraksi, saya berdiri salting di depan rumah orang. Mau jongkok kok ya malu. Sepulang belanja saya minta suami mulai mencatat waktu kontraksi sementara saya mulai memasak sambil sesekali jongkok menahan sensasi kontraksi. Usai sarapan malah suami ngajak nonton Habibie&Ainun yang rencana kami tonton kemarin. Haduh, rasanya udah gak berani keluar rumah lagi. Apalagi waktu kontraksi mulai berjeda 4-5 menit dengan lama 30-40 menit.

11.00an
Kontraksi terus berlangsung tiap 4 menit. Flek darah muncul. Saya meminta teman datang, membelikan perlak 2meter untuk antisipasi jika saya melahirkan di kasur, kurma dan nangka. Saya asik onlen sambil mendengarkan murrotal anak dengan bersandar pada gymball dan kantong kompres air hangat di pinggang. Suami mulai menyiapkan kolam tempat bersalin meski saya tak yakin akan melahirkan hari itu. Ia juga membeli minuman isotonik dan coklat, lumayan untuk mengalihkan rasa sakit. Oh ya, saat itu saya belum tahu kalo bidan yang sedianya akan membantu persalinan kami mengcancel dengan alasan beda wilayah kerja, tak tega beliau melanggar aturan dinas. Suami saat saya tanya hanya menjawab bahwa bidan sudah dihubungi. Kebetulan sudah ada teman yang siap menjemput juga. Kelak, ucapan kami soal unassisted justru dijabah Tuhan.

13.00an
Teman saya datang. Saya hampir tidak bisa apa-apa. Goyang inul dengan gymball sama sekali tak kuat dilakukan, cuma bisa goyang sambil bersandar ke tembok, itupun saat tak kontraksi sambil berusaha tenang menarik nafas perut. Saya berusaha mengalihkan sensasi kontraksi dengan beragam cara. Duduk salah, berbaring makin tak bisa bernafas, meringkuk tak enak. Jadilah saaat kontraksi berlangsung saya justru jalan kaki bolak-balik di dalam rumah. Saat rasanya begitu menjalar, saya berdiri memeluk suami. Ini efektif bagi saya untuk mengurangi sakit loh. Mungkin karena produksi hormon oksitosin yang meningkat dan membuat saya merasa lebih nyaman. Saat itu kontaksi mulai berlangsung 40-50 detik tiap 4 menit.

14.00an
Saya muntah. Semua menu makan saya keluar sempurna. Ini efek semalam begadang dan masuk angin. Suami sempat panik, sejauh referensi yang ia baca, tak ada kata muntah saat jelang persalinan. Rasanya justru lega, perut kosong dan hanya diisi teh manis setelahnya. Saya memilih duduk di dapur dan menghadap halaman belakang rumah yang terbuka. Menatap rumput dan udara terbuka rasanya jauh lebih segar. Saat kontraksi di waktu ini saya merasakan ada sesuatu yang robek di bawah sana. Saya gak tahu pembukaan berapa saat itu.
"VT ya?" suami menawarkan diri. Saya menggelengkan kepala kuat-kuat. Memang sih kami sudah membaca dan mencoba mempelajari soal pemeriksaan dalam sendiri. Tapi rasanya belum berani deh.


14.30an
Setelah sedari tadi menolak masuk kolam karena  ketuban belum pecah akhirnya saya mengikuti saran suami untuk relaksasi di dalam kolam. Ternyata berendam di dalam kolam relatif mengurangi sensasi gelombang rahim saat kontraksi. Saya mencoba beragam pose saat kontraksi di dalam kolam, duduk, jongkok, setengah berbaring, sambil sesekali menggenggam tangan suami yang berulang kali mengingatkan saya untuk mengoptimalkan pernafasan perut saat muka saya menunjukkan ekspresi hendak mengejan.

"Eh, kayaknya ada yang mau keluar. Ini ketuban ato kepala ya?" saya menarik nafas panjang mengeluarkan gelembung ketuban sebesar bola tenis yang perlahan mengempis sendiri di dalam air. Baru tahu begitu rasanya ketuban pecah di air.

Setelah ketuban pecah, terasa ada dorongan lebih besar dari dalam rahim. Waw, sungguh saya takjub sendiri ketika selesai menghembuskan nafas disertai mengejan (hehe, ini gagal mengatur nafas perut), keluar sendiri kepala bayi dari dalam.

"Yang, kepalanya keluar," teriak saya heboh bahagia. Suami tak kalah heboh dan bersemangat pengin segera melihat kelanjutan persalinan. Rasanya sudah bahagia sekali, saya sempat memanggil teman saya di ruang sebelah yang dipisahkan tirai, "Neng, kepalanya udah keluar loh. Kamu gak pengin liat?".
Rasanya waktu itu cepet banget. Dalam tarikan nafas selanjutnya badan debay meluncur sampai kakinya yang langsung saya terima dengan kedua tangan sendiri. Saya angkat ke dada begitu mendengar tangisnya meledak keras. Ia menangis. Sementara saya begitu takjub dan bahagia mendekapnya.

Saya langsung IMD (Inisiasi menyusui dini) begitu keluar dari kolam. Suami langsung riweh menghubungi bidan BPS terdekat yang dengan segera dijemput teman saya. Debay langsung diadzankan oleh suami saat sedang IMD sambil menunggu kedatangan bidan. Kami ngobrol dengan debay sambil sama-sama tak percaya atas kemudahan proses persalinan ini, alhamdulillah.

Bidan datang 15 menit kemudian dan kaget mendengar penutuan persalinan kami. Kami sempat mengemukakan keinginan menunggu plasenta keluar dengan sendiri dan lotusbirth. Setelah 30an menit tali pusat bayi tak kunjung turun sendiri, saya mempersilakan bidan membantu mengeluarkan plasenta. Tangan bidan juga masuk 3x ke dalam untuk memeriksa dan mengambil sisa jaringan plasenta yang tertinggal. Setelahnya, tentu saja masalah jahit-menjahit nan aduhai bagian perineum yang robek. Saya dijahit luar dalam, masuk level 2 deh. Selama dijahit, debay tetap nyaman berada di atas badan saya. Sudah gak IMD sih, dia tertidur usai mencoba mencari ASInya.

Lotus (membiarkan tali pusat mengering sendiri tanpa sengaja memutusnya) kami juga berjalan lancar meski saat itu bidan yang menangani kala 3 kami tak tahu soal lotus dan meminta kami menandatangani surat pernyataan penolakan pemotongan tali pusat dan vitamin K. Butuh waktu 4 hari sampai plasenta yang itu puput dengan sendirinya. Bayi kami baru ditimbang hari kelima. Beratnya saat itu 2,95kg dan tingginya 48cm. Kami memperkiraan beratnya 3kg saat dilahirkan dengan hitungan BB turun di pekan pertama. Hebohnya, di H+2 kami sudah didatangi bidan puskesmas terdekat atas laporan dari dinas kesehatan setempat soal penolakan pemotongan tali pusat. Kami menjelaskan soal lotus-yang baru diketahui bidan tersebut juga. Kami juga difoto loh, saya, suami, debay dan si plasenta tentu saja. Bidan tersebut mendatangi kami sampai 3x dalam sepekan guna memastikan efek lotus dan kesehatan bayi paska lotus. Bahkan di kunjungan ketiga, beliau menghadirkan dokter anak. Lumayan deh, saya malah konsultasi gratis nanya ini-itu.

Namanya 'Ammar Hafizh Adz Dzikr. Lahir Rabu, 26 Desember 2012 sekitar pukul 14.50. Mohon doanya ya agar si kecil menjadi anak shalih sesuai harapan orangtuanya :-)

Tidak ada komentar: