Kamis, 18 September 2014

Rinai Hujan

“Dibooking atas nama siapa Mbak?” tanyaku memandang ke depan. Perempuan yang melamun di hadapanku kembali menatapku sambil tersenyum. Udara gerah. Awan yang mendung tak kunjung menurunkan hujan. Kipas angin berputar di angka dua. Andai tak ada pelanggan, ingin ku raih kipas di belakangnya dan menaikan volume sampai tiga. Pol.

“Hujan,” katanya.

“Eh?”

“Rinai Hujan,” jawabnya lagi.

“Namanya?” aku linglung dibuatnya.

“Rinai Hujan Mbak.” Tegasnya sambil memberikan kartu identitas. Aku ber o pelan kembali menekuri layar monitor.

“Baik, sudah terbooking Jogja-Balikpapan jam 08.35-11.20 atas nama Rinai Hujan. Total 607.000. Time limit pembayaran sore ini pukul 17” ucapku kembali seirama. Irama khas customer service saat melayani pelanggan pemesanan tiket. Ting ting tong tung.

“Saya ambil uang di ATM depan dulu,” si mbak Rinai Hujan beranjak dari duduknya. Tepat di depan kantor kami, seberang jalan, ada ATM berikut kantor cabang salah satu bank.

“Silakan” aku tersenyum tak sabar. Senyum pada si Mbak yang akan keluar sehingga aku bisa menjangkau kipas angin di belakangnya. Juga senyum senang karena hujan rintik mulai turun. Selamat tinggal udara gerah.

Eh,” langkah si Mbak Rinai terhenti saat tangannya hendak mendorong pintu. Aku yang keburu berdiri urung duduk. Wajahnya terarah padaku tepat saat hujan mulai deras.

“Ada salam dari si kecil,” katanya.

“Si kecil?” aku bertanya bingung.

Ia tersenyum ganjil sambil menunjuk atas. Atap? Langit? Hujan? Ia bergegas keluar dengan payung biru. Menyeberang jalan yang basah.

“Ada apa Mi?” suamiku keluar dari ruang sebelah. Sebutir nasi tertinggal di sudut mulutnya. Ia mendapatiku tertegun di depan kipas.

“Itu, hujan…” aku bingung harus berkata apa.

Perempuan dengan nama Rinai Hujan itu tidak pernah kembali setelahnya. Ia tak pernah mengkonfirmasi pemesanan tiket yang sudah dibooking. Ia hanya turun menyampaikan pesan.

#untuksikecilku

Tidak ada komentar: